Teror Telepon Dan Mereka Ternyata...

24 4 4
                                    

Aku berlari kearah telepon rumahku dengan secepat kilat.
Dan segera ku jawab telepon itu.
"Halo?"
Kudengar suara diseberang sana.
"Kau akan meninggal besok!!!"
Aku sangat mengenal suara ini. Ini adalah suara Cherry.
"Cherry... Cher-"
Tidak sempat ku ucapkan sepatah katapun ia langsung mematikan telepon itu.
"Ada apa?"
Micah menepuk bahuku.
"Uh... Ini temanku mengajak menonton dibioskop hehe..."
Kurasa tidak penting untuk mengungkapkan semuanya.
Micah merapikan Mohawknya dan memberiku segelas susu.
"Wajahku sudah pucat... Kurasa susu akan menambah pucatnya diriku."
"Tidak mau ya sudah!"
Ia hendak menegak susu itu, Tetapi, Sebelum itu terjadi. Aku sudah lebih dahulu merampasnya dan menegaknya.
"Terima kasih!"
"Sama-sama!"
Ia menyahut kata-kataku dengan geram.
Micah memang orang yang dingin. Namun, Ia tetap terlihat cengeng.
"Micah... Kemarin kamu tidak jadi berkencan dengan kekasihmu?"
"Aku sudah kesana... Tetapi, Ia malah tidak datang. Aku pun dapat bonus tamparan dari seorang perempuan yang kukira dia. Langsung saja kucium, Tapi aku malah ditampar. Keren kan?"
Ia tersenyum sinis dan mengusap pipinya seakan masih kesakitan.
"Dasar cengeng! Ditampar langsung cemberut!"
Aku tertawa tak tertahankan.
"Ka-"
Ucapannya terpotong dengan telepon yang berdering.
Aku menjawab telepon itu, Tetapi kata-kata tadi terulang kembali.
Hanya itu lalu telepon mati.
"Masih teman?"
Aku mengangguk kecil dan menggaruk kepalaku sendiri.
"Eh tadi kamu mau bicara apa sama aku?"
"Tidak tahu, Sudah lupa juga!"

Kringgg!!!

Micah mengambil alih telepon itu.
"Hei! Entah itu kau adalah seorang gadis atau seorang pria, Atau mungkin tidak keduanya! Jangan ganggu malam kami! Kami ingin tidur, Mengerti?"
Micah memaki Cherry.
Tetapi, Memang Cherry tak lagi meneleponku.
"Suaramu itu bermanfaat juga, Ternyata."
Ia cemberut dan masuk kekamarnya.
Aku hanya tersenyum sendiri saja.
Dasar pria setengah gadis!

Teng-tong

Jam istirahat berdentang, Yang artinya kami pun dapat beristirahat.
Aku segera berlari ke perpustakaan, Dan membaca buku kimia disana.
Disana kulihat ada Tina.
"Tina!"
Ia menoleh dengan wajah polos.
Aku menghampirinya dengan masih membawa buku kimiaku.
"Kamu sedang apa disini, Xin?"
"Oh... Aku tentu sedang membaca. Kamu?"
"Aku sedang dapat tugas merapikan buku-buku nih. Dari kepala sekolah"
"Tapi sudah selesai kok... Bagaimana kalau kita makan siang dikantin. Aku sangat lapar... Perutku sudah berbunyi sejak pagi."
"Kenapa tidak sarapan?"
"Aku benar-benar tidak ada waktu..."
Kami pun setuju untuk pergi ke kantin untuk makan bersama.
Sampai disana, Ternyata kantin sedang ramai.
Kulihat ada Tigers dan Cherry disana.
Mereka sedang duduk satu meja.
Kudengar mereka sedang berbicara. Berbicara tentangku.
"Xin adalah orang yang baik... Kasihan juga kalau kita dekat dengannya hanya karena ingin menghiburnya..."
Julian bergumam.
Nicky pun menyahut kata-kata Julian.
"Aku pun merasa seperti itu..."
Alec mengangguk dan berkata
"Tetapi, Ia pernah bilang kepadaku agar jangan mendekatinya lagi..."
"Kurasa ia pun hanya ingin mengambil keuntungan bersama kalian..."
Cherry menambahkan kata-kata kasarnya itu.
Mereka tampak kebingungan.
"Maksudku... Ia hanya ingin menjadi terkenal, Setelahnya membuang kalian deh."
Mereka terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ternyata... Mereka hanya menghiburku.
Itu kenapa aku tidak percaya, Siswa seperti mereka itu ingin bersahabat denganku.
Aku membetulkan posisi kacamataku.
"HEI!!!"
Tina yang disebelahku menyadarkanku dari lamunanku.
"Kamu kok jadi tuli seperti ini. Dari tadi aku sudah berteriak-teriak seperti orang kerasukan tahu..."
"Maaf Tina."
"Tidak apa-apa, Xin!"
Ia menggandengku dan menarikku untuk memesan makanan dengannya.
Aku tak dapat memalingkan kepalaku dari Tigers.
"Kamu ingin makan apa?"
"Xin! Hellooo?"
"Ah? Oh iya... Aku Salad saja!"
"Oh baiklah!"
Tina tersenyum padaku dengan mimik lucu.
Sungguh aku tidak konsentrasi dengan apa yang Tina sedang bicarakan denganku.
"Tina... Kamu makan siang sendiri saja. Aku ada urusan dulu... Bye!"
Aku berlari pergi kearah toilet sekolah.
Disana kulepas kacamataku, Dan kubasuh wajahku dengan air dari wastafel.
Aku melihat pantulan diriku dicermin.
Dan aku tersadar...
Benar... Seharusnya aku sadar dari awal.
Mereka itu siapa dan aku itu siapa.
Aku hanyalah gadis B.R, Sedangkan mereka adalah siswa-siswa yang paling populer disekolah.
Bukankah itu adalah perbedaan yang sangat kontras?
Mereka memang seharusnya bersahabat dengan mereka disana yang sederajat dengan mereka.
Mungkin seperti Cherry atau Tina.
Memang pada akhirnya... Aku tetap tak memiliki seorang sahabat pun.
Mungkin, Seperti inilah aku ditakdirkan.
Masa depan yang ku anggap dapat diperbaiki sepertinya hanya untuk mereka. Bukan aku.
Aku tahu... Kebaikkan itu akan terbalas perlahan.
Tetapi, Entah mengapa aku merasa seperti itu sekarang.
Kulihat kedua tanganku yang sangat pucat.

To be continue...






If Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang