Ternyata Dia!

28 5 15
                                    

"Xin!"
Aku melihat kebelakangku.
Disana ada Tina yang sedang terengah-engah mengejarku.
"Ada apa, Tina?"
Ia berusaha mengatur nafasnya kembali.
"Xin, Kamu tahu tidak? Minggu depan ada acara di sekolah. Kalau kamu ikut kemungkinan besar kamu akan lebih dikenal orang lain"
"Memangnya acara apa, Tin?"
"Kamu bisa melukis tidak?'
Aku menggelengkan kepalaku.
"Main musik?"
Aku tetap menggelengkan kepalaku.
"Akting?"
Aku masih menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa apapun..."
Ia terdiam berpikir sejenak.
"Kamu harua bisa sesuatu! Begini, Akan ada kontes Melukis, Musik dan Akting. Kamu harus ikut! Jadi orang-orang tidak meremehkanmu!"
"Tetapi, Bagaimana jika aku tidak bisa apapun?"
"Hmm... Begini saja. Aku dapat ide! Kamu ikut aku kerumahku sepulang sekolah. Ok?"
Kini aku menganggukkan kepalaku.

Aku masuk ketoilet sekolah.
Disana ada dua orang pria.
Aku dapat memastikan kalau yang satunya adalah Michael dan aku tidak mengenal siswa yang berada disampingnya.
Bukankah ini adalah toilet perempuan, Kenapa mereka ada disini?
Kelakuan mereka sangat janggal.
Aku bersembunyi dibalik dinding.
Sayup-sayup aku dapat mendengar percakapan mereka.
"Rick, Tanggalkan bajumu! Cepat!"
"Tapi, Kakak... Kakak kelas! Ak-aku tidak ingin terlibat masalah"
"Lakukan saja!"
Nadanya sedikit meninggi.
Aku mengintip apa yang mereka lakukan.
Ternyata baju siswa itu dikotori oleh tintah berwarna merah hingga berbercak seperti darah.
Tunggu dulu!
Aku tiba-tiba teringat oleh baju yang saat itu kutemui di dalam mobil guru yang kecelakaan.
Apakah ia akan membuat siswa itu menjadi korban?
Jadi kecelakaan itu disengaja?
Lalu, Apa yang menguntungkan dari kecelakaan itu?
Michael... Bukanlah orang yang baik.
Tetapi aku terlalu takut untuk memberi tahu bahwa dia yang menabrak guru itu.
Aku berniat kabur, Tetapi kaki kiriku tersandung kaki kananku.
Ah!
Aku pun terjatuh.
Tidak! Mereka bisa melihatku menjadi saksi kalau begini!
Aku berlari sekencang mungkin.

Sorenya aku terus berlatih melukis dirumah Tina.
Ia sungguh-sungguh mengajarkanku dengan baik.
Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk berterima kasih padanya.
Dengan lembut ia mengajarkanku.
Setiap kesalahan yang kubuat ia pasti mengkritik karyaku dengan lembut.
"Xin, Sepertinya lukisanmu itu kurang cahaya deh. Harusnya kamu tambahkan cahaya pakai pensil putihku itu. Kamu coret saja dengan santai. Tenang saja! Pensilku takkan kabur dari tanganmu."
Ia terkekeh geli.
Saat ia terkekeh kecil seperti itu, Semakin membuatnya tampak cantik.
Ia juga terlihat sangat feminin.
Aku membetulkan posisi kacamataku. Dan terkagum-kagum dengan parasnya yang cantik dan sikapnya yang anggun.
Ia terlihat menawan, Apalagi ia sama sekali tidak sombong.
Berbanding terbalik dengan Cherry yang sangat licik dan sombong.

Hari demi hari...
Sampai hari itu pun tiba.
Aku yang berlatih setiap harinya pun semakin baik dalam melukis.
Walau tetap saja kalah jauh dibawah Tina yang lukisannya terlihat begitu nyata.
Aku bersiap untuk acara itu.
Aku mengencangkan ikatan tali sepatuku yang tak ada hubungannya sama sekali dengan persiapan untuk melukis.
Aku membetulkan posisi kacamataku.
Dan mengehela nafas yang panjang.
Aku berusaha tenang dengan tersenyum.
Tina menghampiriku, Dan menepuk bahuku.
"Xin, Kamu harus tenang ya! Pasti bisa! Walau jujur aku sendiri tidak pede dengan lukisanku"
Kalau Tina saja tidak pede apalagi aku?
Aku mengangguk dan membalas tepukannya pada bahuku.

Suara pengisi acara telah memanggil nama kami kedengarannya.
Kami para kontestan memasuki panggung itu.
Disana telah disiapkan beberapa kanvas lukisan.
Aku menelan ludah dengan gugup.
"Baiklah! Disini ada Christina dari kelas 2 SMA, Ada Charlie dari kelas 3 SMA, Ada Michael dari kelas 3 SMA, Ada Jackson dari kelas 2 SMP, ... Dan... Xin dari kelas 3 SMP."
Kenapa begitu menyebut namaku, Kata-kata Pembawa acara itu tersendat?
Sebegitu bencinya orang-orang kepadaku kah?
Aku hanya melirik kearah pembawa acara itu yang melirikku dengan tatapan menghinaku.
Aku membetulkan posisi kacamataku.
Tina yang tepat ada disebelah merangkulku.
Ia mengusap bahuku. Dan membisikkan sebuah kata.
"Jangan sedih hanya karena mereka!"
Aku mengangguk perlahan.
"Baiklah ayo kita mulai saja!"

Kami memulai melukis.
Aku berusaha untuk percaya diri. Dengan apa yang kulakukan. Semoga saja acara ini membawa keberuntungan untukku. Dan membuat The Little Tigers melirikku, Mungkin itu terdengar seperti mimpi. Tetapi, Siapa tahu?
Tangan kiriku mulai menari diatas kertas putih yang besar dengan kayu penyangga dibelakangnya.
Ya, Aku memang kidal.
Kulirik kearah Tina yang mengacungkan jempol untukku. Dan Michael yang melirikku dengan tatapan tajam.
Apakah Michael sadar kalau yang mengintipnya kemarin adalah aku?
Ternyata memang benar-benar dia, Sudah tak salah lagi. Sebelumnya aku masih ragu kalau itu adalah dia.
Aku berusaha untuk tidak meliriknya sama sekali. Sungguh takut bila terus-menerus melihatnya.
Kulihat kearah penonton, Ternyata disana ada Tigers yang sedang asyik melihat kearah kami. Kecuali aku.
Aku terdiam tanpa berkata.

Akhirnya stopwatch sang pembawa acara berakhir.
Dan saatnya juri untuk mengumumkan siapa pemenangnya.
Juri menelisik lukisan demi lukisan dengan detil.
Tetapi, Sepertinya ia tidak ingin melirik kearah lukisanku.
Lalu saat ia tak sengaja menoleh kearah lukisanku. Ia terlihat terpaku entah mengapa.
Padahal lukisanku terlihat seperti "Tiga pria yang berada dalam mimpi abstract "
Ia menelusuri setiap tetes cat air yang tercoret diatas kertas dengan lebih seksama.
Aku hanya memandangnya dengan perasaan aneh.

To be continue...

NB :
Astaga! Akhirnya aku bisa melanjutkan If Love Is Blind juga dari lima hari yang lalu ga pernah update lagi.
Sumpek banget kalau ga apdet. Dan butek juga otakku untuk nulis. Sekarang saja lagi berbinar hahah (^-^)


If Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang