Bully

39 5 14
                                    

Aku berlari kecil dengan bersenandung kecil.
Aku yang sedang menggendong boneka bayi terhentikan oleh segerombolan anak laki-laki.
"Kalian siapa?"
"Xin kan gadis yang mengidap penyakit itu!"
"Aku tidak sakit! Aku sehat kok!"
"Sudah jelek... Penyakit pun ingin mencabut nyawanya. Dasar pucat!"
"Aku pucat karena aku turunan-"
Mereka merampas bonekaku dan memegangnya setinggi mungkin. Mereka tahu aku tidak cukup tinggi untuk menggapainya
"Dasar pucat penyakitan!, Jelek, Pendek!"
"Kembalikan... Aku mo..hon!"
Aku menitikkan airmata. Dan aku mulai sesunggukan.
"Ayo kita gunting rambut boneka ini!"
"Jangan! Aku mohon!"
Mereka mengambil gunting dan berusaha untuk menggunting rambut bonekaku yang ku namakan "Sunday".
"Jangan sakiti Sunday!"
"Oh... Jadi nama boneka jelek ini Sunday? Ya... Tepat hari ini adalah minggu. Kita buat Minggu pagi yang berkesan bagi Sunday ini!"
Mereka hampir saja memotong rambut Sunday.
"Jangan!!!"
"Baiklah... Kalau kalian seperti ini. Bisakah aku menggantikan boneka itu? Potong saja rambutku... Tetapi, jangan Sunday! Boneka itu sangat berharga bagiku. Itulah satu-satunya kenanganku dari orangtuaku. Hanya ini yang dapat membuatku teringat kepada mereka."
"Baiklah kita buat dia botak!"
Aku menangis tersedu-sedu.
Mereka menggunting habis rambutku secara tidak rapi.
Dan kupegang kepalaku, Aku bahkan dapat menyentuh kulit kepalaku dengan mudah.
"Jauhi dia! Kalian anak-anak brengsek!"
Kudengar suara nenekku.
Mereka pun lari dan kabur.
Aku menangis memegangi rambut-rambutku yang telah berserakan dibawah. Nenekku segera mengambilkan bonekaku.
Beliau memberiku boneka itu.
"Sunday...!"
Aku memegang kepala boneka bayi itu.
"Rambutmu masih sangat cantik..."
Aku memeluk Sunday dengan tangisan bahagia.
Nenekku pun memelukku dengan penuh kasih sayang.

Aku mengusap cermin yang beruap itu.
Kulit pucat ini... Membawa seribu satu kenangan indah dan pahit dalam hidupku.
Saat itu aku baru saja berusia 5 tahun.
Pantaskah bocah seusiaku menerima bully secara terus menerus?
Rambutku pun sudah sepanjang pinggangku.
Menandakan bahwa sudah betapa lamanya kejadian itu.
Tetapi masih saja menari-nari dikepalaku.
Bahkan Sunday ku pun sudah hilang sejak aku meninggalkan rumah Nenekku.
Aku selalu bersedih setiap aku mengingat Sunday.
Hanya boneka itulah yang bisa memberiku perasaan hangat dari orangtuaku. Itu mengapa aku sangat menyanginya.
Dan aku merasa sangat sedih saat aku kehilangannya.
Terlalu sedih untuk dikenangkan.
Aku selalu berharap sampai sekarang. Kalau aku bisa bertemu dengan Sunday sekali lagi.
Aku hanya bisa terus berharap.

Aku keluar dari toilet sekolah dengan kembali mengenakan kacamataku lagi.
Aku memejamkan kedua mataku dengan erat-erat.
Dimana engkau Sunday?
Aku berlari menyusuri koridor panjang itu.

To be continue...

NB : Sorry for whom the owner picture of doll. I like your baby doll, Thank you!

If Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang