Ulang Tahun Ku

34 5 7
                                    

Aku memasuki kelasku.
Dan melihat kesekeliling. Kulihat Alec ada di ujung sana.
Aku mengedip-kedipkan kedua mataku dan membetulkan posisi kacamataku.
Aku berjalan dan duduk dikursiku.
Tanpa menoleh kearah mana pun.
Kubuka buku harianku, Dan menulisnya.

"Dear Diary,
Tuhan aku berpikir mereka tak lagi akan menjadi sahabatku. Kupikir aku akan mempunyai sahabat.
Tetapi... Kurasa sekarang aku hanya mempunyai Tina sebagai sahabatku.
Terima kasih, Ya Tuhan."

Siswa dan siswi berlarian kesana dan kemari. Dengan panik.
Aku hanya menoleh dan melihat kejadian ini tanpa sedikit penasaran pun.
Salah satu dari mereka yang berlarian, Yaitu Tina. Memberitahuku.
"Xin, Kamu tahu tidak?"
"Tahu apa?"
Ia berusaha mengatur nafasnya.
"Gu...Guru kamu yang kemarin mengajar. Dia... Dia ditabrak mobil didepan gerbang sekolah!"
"Cepat kamu bantu aku tolong dia!"
"Memangnya tidak ada murid lain, Selain aku."
"Mereka takut resikonya. Tetapi, Aku sungguh iba dengannya. Ayo cepat sebelum terlambat!"
"Ah... Baiklah!"
Tina menarik tanganku dan berlari dengannya.
Setiba aku didepan gerbang sekolah kulihat darah telah berlumuran disekitarnya.
Aku menutup mulutku dengan terkejut.
"Ayo!"
Aku yang masih dikejuti oleh kejadian ini. Berusaha berkonsentrasi.
Kami mendekati Guru itu.
"Kamu bantu aku, Angkat kakinya!. Xin"
Aku berusaha mengangkat kakinya.
Tetapi karena postur tubuh Guru itu yang agak besar. Kami pun kesulitan.
"Xin, Coba kamu lihat apa yang bisa kita ambil dari mobil itu?"
Aku masuk kedalam mobil yang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Kulihat apa yang bisa kuambil, Tak ada sesuatu yang bisa kuambil selain kain berwarna putih yang panjang.
"Tina! Aku dapat sesuatu!"
Saat aku keluar dari mobil, Kulihat Tina sedang diperiksa oleh kepala sekolah.
Seketika wajahku berubah menjadi pucat.
"Apa yang terjadi?"
Tina melirikku dengan wajah yang murung.

"Lebih baik kamu mengaku saja. Maka kami bisa menutupinya!"
Ujar salah satu pria yang memakai jas hitam.
Ya, Kutahu mereka adalah salah satu guru.
Aku yang duduk dikursi kayu hanya bisa meremas-remas rok seragamku.
"Tetapi, Memang ini bukan kesalahan saya... Saya hanya ingin membantu. Jika menunggu lebih lama, Saya yakin tak ada satu persen harapan pun untuknya."
"Tutup mulut kotormu! Jadi kamu mau menyalahkan kami yang bertindak malas?"
Aku bergidik dengan kata-kata mereka.
Tetapi, Aku berusaha untuk tetap tenang.
Karena jika tidak... Aku yang tidak bersalah pasti akan dianggap bersalah.
"Tetapi, Bagaimana anda bisa membuktikan bahwa itu saya, Pak?"
"Kamu tahu citra sekolah kita itu sedang bagus sekali. Dan kalau sampai kejadian ini menjadi buah bibir orang-orang. Kamu tahu apa yang terjadi. Kemungkinan tutupnya sekolah ini sangat besar."
Aku terdiam...
"Bukankah pada akhirnya semuanya akan terungkap?"
"Kamu tahu, Kalau sekolah ini jauh dari kepolisian. Dan, Bisa saja kita lakukan berbagai cara untuk membersihkan nama sekolah ini."
"Saya tahu... Tetapi, Memang bukan saya. Posisi saya disana hanya membantu, Begitupun Tina. Pak"
Ia terdiam seperti memikir sesuatu.

Tina diluar yang duduk ketakutan. Bertanya kepada dengan banyak pertanyaan.
"Bagaimana? Apakah kita akan...Akan..."
"Tina tenang saja... Kamu tidak akan disalahkan. Citramu bagus, Biar aku saja yang membereskan masalah ini."
"Tapi Xin. Ini semua karena aku, Nama kamu jadi semakin buruk."
Aku terdiam.
"Tenang saja... Ini bukan salahmu. Tetapi... Ini adalah kebaikkan yang kita lakukan. Pasti akan ada jalan keluarnya."

Aku pulang dengan lemas.
Kemungkinan kepolisian tahu mungkin kecil.
Karena, Guru itu pun tidak tewas. Tetapi koma.
Hanya saja, Harus aku yang menanggung semua fitnah itu.
Siapa yang akan membelaku?
Secara aku benar-benar dibenci disekolah ini.
Aku memasuki rumah. Baru saja aku menutup pintu.
Aku dikejuti oleh suara terompet.
"Ah?!"
Aku menoleh kebelakang.
Ternyata itu Micah yang meniup terompet ulang tahun.
Micah menyiapkan segalanya untuk ulang tahunku ternyata.
Aku tersenyum bahagia, Hampir menitikkan airmata rasanya.
"Micaaah!"
Aku memeluknya dengan senang.
"Xin, Terima kasih atas apa yang kamu lakukan terhadapku... Karena kamu aku punya sebuah rumah, Karena kamu aku mempunyai teman, Karena kamu aku bisa hidup bebas, Karena kamu-"
Aku menutup mulutnya.
"Terima kasih atas apa yang kamu lakukan untukku, Micah!"
Ia tertawa bahagia.
"Eh kamu tidak mau makan kue ulang tahunmu. Itu penting tahu!. Makan juga mi panjang umurmu. Itu buatanku, Pasti sedap rasanya. Coba deh!"
Aku mencoba kuenya.
"Hmm... Enak sekali!"
"Yang itu aku beli."
"Memangnya kamu punya uang? Secara kamu kan pengangguran haha..."
Aku terkekeh geli. Ia cemberut sekarang.
"Iya tidak sih... Aku mencuri uang tabunganmu!"
"Oh... Begitu..."
Aku baru tersadar dengan apa yang baru saja dibicarakannya.
"Apa?!"
"Ih... Bukan! Aku 'meminjam' kue ini dari temanku yang punya bakery "
Aku tertawa mendengarnya.
"Kamu bilang itu meminjam? Bagaimana kita 'mengembalikan'nya?"
"Dengan uang"
"Uangmu?"
Aku mengernyitkan dahi.
"Uang mu lah"
Ia tertawa terbahak-bahak.
"Sudahlah aku takkan marah dihari ulang tahunku. Lagipula kukira 'Si cengeng' sepertimu takkan bisa tertawa."
"MAKAN SAJA!"
Aku memakan mi itu, Tetapi rasanya sungguh luar biasa... Tidak enak.
"Hmm... Lumayan juga"
Aku memaksakan untuk memakannya dengan lahap.
"Aku tahu kamu ingin muntah. Jujur saja!"
"Bagaimana kamu tahu?"
"Aku yang memasukkan bumbu-bumbu aneh didalamnya dengan sengaja"
"Uhh... Sekarang tanganku jadi gatal!"
Micah berlari masuk kekamar.

Aku tersenyum bahagia. Dan menghela nafas.
Ternyata masih ada yang peduli denganku...
Terima kasih Micah.

To be continue...

If Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang