Hari Demi Hari

34 5 7
                                    

Dua bulan berlalu...
Aku melanjutkan hariku dengan normal-normal saja.
Hanya saja sekarang aku memiliki satu kebiasaan.
Yaitu, Mengikuti Tigers secara diam-diam.
Aku sungguh merindukan mereka yang sering mengajakku pergi.
Tetapi, Sekarang aku sadar.
Mereka bintang sedangkan aku adalah rumput saja.
Yang bagi orang lain dapat menginjak-injak diriku dengan mudah.
Sedangkan bintang...
Mereka bahkan tak dapat menggapainya.
Aku hanya bisa menerima keadaan sekarang saja.
Toh memang sebelumnya seperti inilah aku.

Aku berjalan menyusuri koridor panjang itu.
Dan kudengar seruan dan suara berisik seperti bola basket yang menghantam lantai.
Pasti mereka sedang bermain basket.
Aku berjalan dengan lemas, Karena tak ada gairah dalam keseharianku lagi.
Aku sebenarnya cukup merasa aneh, Tak ada orang yang bertanya tentang kejadian aku didalam mobil itu.
Seperti kejadian itu lenyap begitu saja.

Aku mengintip dari depan pintu lapangan basket outdoor.
Dan benar saja kulihat mereka bertiga dengan beberapa siswa yang ikut bermain basket bersama.
Keringat yang mengucur membasahi tubuh dan wajah mereka, Menambah aura seksi mereka.
Aku tersenyum kecil.
Entah mengapa, Hanya dengan melihat mereka dari jauh saja sudah membuatku puas.
Sejujurnya bukannya puas, Tetapi, Aku dipaksa puas dengan keadaan yang saat ini ku jalani.
Jadi, Melihat mereka dari jauh saja sudah cukup beruntung.

Alec tersandung dengan tali sepatunya yang tidak terikat.
Kepalanya membentur lantai.
Aku sangat terkejut. Dan aku hendak berlari untuk membantunya.
Tetapi, Saat aku hampir melakukannya, Kulihat Cherry yang membantunya.
Aku pun sontak menghentikan langkahku.
Kurasa, Aku hanya dapat mendoakannya agar baik-baik saja.
Kulihat mereka begitu panik dan segera memapah Alec yang terlihat pusing.
Mereka mendekat kearah dimana aku berada.
Segera aku bersembunyi dibalik dinding yang tak bersudut.
Mereka berjalan tanpa menoleh kearahku sedikitpun.
Bahkan mereka sama sekali tidak melihatku yang tepat disamping pintu.
Aku menggosok hidungku dengan tangan kananku.
"Alec semoga... Kamu baik-baik saja!"
Aku berbicara dengan intonasi kecil.

Seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Dengan reflek aku menoleh kearah orang itu.
Ternyata Tina yang menatapku dengan tatapan aneh.
"Tina, Kamu-?"
"Sedang apa kamu disini?"
"Oh... Hm... Aku sedang me-"
Kata-kata ku terpenggal-penggal.
"Aku tahu kamu sedang memata-matai Tigers kan?"
Aku tersenyum gugup.
"Aku juga sering melakukannya."
"Kalau begitu kita sama!"
Ia mengangguk.

-------------------------------

Hujan besar mengguyur bangunan sekolah.
Tubuhku sudah basah diguyur hujan yang dengan derasnya membasahi diriku.
Bodohnya, Aku lupa membawa payung.
Hanya seragamku yang sudah basah dibalik jaket kain tipis berwarna merah muda yang juga sudah basah.
Aku membopong tas ranselku dan memegang satu botol.
Aku sungguh kedinginan dengan cuaca ini.
Tubuhku bergemetar seraya gigiku yang bergemeletuk.
Aku memegang botol itu dengan erat. Karena hanya botol itulah yang terasa hangat ditubuhku.
Rambut panjangku sudah basah sekali.
Aku mengusap wajahku yang basah itu.

Sesampainya dikoridor menuju UKS.
Aku berjalan terus hingga sampai didepan UKS yang kulihat disana ada Alec yang sedang diobati.
Dan Tina memanggilku.
"Hei Xin! Kamu sedang ap-?!"
"Sssttt!"
"Eh iya"
Tina mengecilkan suaranya.
"Aku berniat untuk memberikan Alec botol ini. Botol ini berisi air dedaunan herbal yang baik untuk penyembuhan lukanya."
"Sudah biarkan aku yang membantumu untuk memberinya botol ini. Soalnya, Kudengar kamu sedang ada masalah dengan Tigers kan?"
Aku memberinya botol itu.
"Ini... Terima kasih, Tina!"
Ia berlari masuk kedalam ruangan itu.
Aku hanya dapat mengintip dibalik pintu.
Aku sebenarnya cukup bingung, Kapan aku memberitahu kepadanya bahwa aku dan Tigers sedang retak?
Pasti Cherry yang berlidah tajam itu.
Aku yang bergemetar sejak tadi hanya bisa melihat Alec dan Tina dari jauh.
Tina memberi Alec botol itu dan kulihat Alec tersenyum kepadanya.
Aku pun lega setelah melihat semuanya. Dan aku berniat pergi dari sana.

Ding ~ Dong !!!

Pelajaran dimulai, Dengan tangan yang bergemetar aku menulis.
Aku juga menulis buku harianku yang kututupi dengan buku pelajaran.

"Dear Diary,
Hari ini aku memberi Alec sebuah botol yang berisi air herbal. Aku sungguh tidak tahan melihatnya kesakitan.
Tetapi, Aku juga tidak berani untuk memberinya langsung.
Ku manfaatkan Tina sebagai perantara. Wish the best for you, Alec! "

Ding Dong !!!

Bel berdentang, Dan pelajaran telah usai.
Seragamku yang basah kini sudah hampir mengering.
Tetapi hujan masih terus mengguyur sekolah kami.
Jam tanganku telah menunjukkan pukul tiga sore.
Seharusnya aku sudah sampai dirumah.
Ku beranikan diriku untuk melangkah menembus hujan deras yang membuatku basah kembali.
Aku berlari kencang. Aku pun hampir terpeleset beberapa kali, Akibat hujan yang membasahi lantai sekolah.
Saat aku sudah tepat berada didekat pintu gerbang sekolah, Aku terpeleset untuk kesekian kalinya.
Hanya saja aku berhasil terjatuh dan kepalaku membentur lantai, Sebagaimana Alec terjatuh.
Kepalaku terasa pusing seperti hampir pecah.
Dalam samar-samar aku dapat melihat sosok seorang pria yang sedang bertanya tentang keadaanku.
Hanya saja suaranya terdengar gamang ditelingaku, Dan sosoknya tampak sangat tak jelas.
Tetapi, Aku bisa melihat orang itu juga basah.
Air hujan jatuh dari ujung rambutnya.
Namun, Semakin aku memaksakan untuk melihatnya. Semakin buram pandanganku pula.

.........................................

To be continue...

If Love Is BlindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang