●○ 30 : Dear ○●

1K 144 3
                                    

Kalian tahu rasanya mencoba peruntungan lotre? Jantung kita seakan dipacu, berdetak berpuluh kali lebih cepat dari kondisi normalnya.

Disinilah mereka sekarang.

Beberapa jam yang lalu mereka mengorbankan diri mereka berhadapan dengan petugas-petugas berwajah tegang di kantor polisi.

Lalu sekarang, berdiri di ambang pintu sebuah rumah sederhana yang jauh dari keramaian kota. Di sudut jalan Hongdae.

Dokyeom menarik napasnya perlahan sebelum mengetuk pintu rumah itu.

Di belakangnya, Yuju berdiri dengan air wajah yang tak kalah tegang.

"Gwenchana.." bisik Yuju sambil menepuk bahu Dokyeom. Memastikan semua akan baik-baik saja.

tok tok tok

Setelah tangannya mengetuk pintu itu, Dokyeom sedikit menggeser tubuhnya menjauh pintu.

Ia terlalu takut melihat seseorang yang mungkin akan keluar. Takut peristiwa tempo lalu di Busan terulang.

Cukup lama mereka menunggu, hingga sebuah suara datang mendekat ke arah pintu sebelum terbuka.

"Nuguseyo...?"

Cklek

Seketika itu juga waktu seperti membeku.

Tidak ada pergerakan. Tidak ada reaksi, maupun aksi.

Tiga orang yang berdiri di berhadapan itu tertegun dengan kejadian yang tejadi.

Waktu itu datang terlambat. Membuka luka lama kembali. Tak terhingga sudah berapa lama mereka terpisah oleh ruang dan waktu.

"S..Seokmin-ah..."

Suara letih dari wanita tua yang menyebut namanya membuat Dokyeom semakin terluka.

Dibelakangnya sesosok lelaki yang kini ia ingat dengan sangat jelas ikut mematung.

Lelaki manapun akan runtuh ketika berjumpa dengan seseorang yang sangat ia rindukan

"Eomma... appa..." perlahan, satu air mata jatuh di kedua pipi Dokyeom.

Ia tak kuasa menatap seorang di depannya. Bagaimana mungkin ada anak sepertinya yang dengan teganya melupakan orang tuanya.

Bahkan Yuju yang menyaksikannya tak dapa tmenahan emosinya.

Ia memilih membalikkan badannya. Menahan air matanya agar tidak jatuh lebih banyak.

Dokyeom menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ketika dua orang di depannya mendekat. Memeluknya dengan penuh kehangatan.

Rasa hangat yang bahkan ia lupa rupanya. Bibirnya bergetar menyebut kata 'eomma' berulang kali. Kakinya lemas seperti tak bertulang.

Kehilangan ingatan adalah hal yang paling ngerikan dalam hidupnya.

"Kau kah itu? Kenapa kau baru kembali? Astaga anak ini..."

Eommanya mengendurkan pelukannya. Mengusap air mata Dokyeom yang mengalir membentuk jejak di sepanjang pipinya.

Bahkan untuk mengangguk saja ia tak mampu.

Perih, rindu, senang, bersalah. Semua menjadi satu.

Appanya menepuk punggung Dokyeom berulang kali. Menenangkan lelaki yang semula terlihat tegar.

Kepala wanita dengan rambut yang mulai memutih itu disisipkan di bahu anaknya.

Tak percaya kalau ia dapat meletakkan kepalanya disana. Terakhir kali, kepala anak lelakinya itu masih setinggi pinggangnya.

Wanita itu menyadari sesuatu. Satu hal yang ia lewatkan.

"Yuna-ya...? Kau kah itu? Kemari, nak"

Yuju masih berusaha mengatur deru napasnya.

Seharusnya ia menjauh, memberika ruang lebih untuk reuni keluarga itu.

Tapi ia tak tahan. Sosok pria dan wanita itu tak ayal seperti orang tua baginya. Rengkuhan wanita itu mengingatkan pada eommanya di rumah.

Yuju berhambur memeluk Lee Ahjumma dan Dokyeom.

Sehangat musim semi.

Keluarga kecil itu berkumpul lagi.



□ • □ • □ • □ • □



Hari itu berjalan seperti rentetan film lama. Memutar semuanya kembali.

Dokyeom menghabiskan hampir setengah hari untuk menceritakan semuanya yang terjadi.

Tentu dibantu Yuju untuk melengkapi semuanya.

Kedua orang tuanya berulang kali memijat pelan kening mereka. Tidak menyangka kejadian seperti ini dapat menimpa keluarga mereka.

"Wanita yang eomma temui beberapa hari lalu di kantor pos, dia pasti eommaku. Yang selama ini merawatku"

Lee ahjumma baru saja menceritakan tentang surat yang diterimanya beberapa waktu lalu di kantor pos.

Dokyeom yakin sepenuhnya kalau wanita yang mengirim surat itu adalah eommanya.

Sekarang ia jadi bingung bagaimana menyebut eomma yang sebenarnya dengan eommanya selama ini.

"Aku bersyukur kau tumbuh dengan baik" hanya itu yang dapat eommanya bilang.

Sungguh, mengetahui fakta kalau anaknya hidup dengan baik sudah lebih dari cukup untuk menyempurnakan hidupnya.

Tapi kehilangan kabar nyaris bertahun-tahun seperti membunuhnya perlahan-lahan.

"Aku sempat ke Busan dengan Yuju," Dokyeom melirik ke arah Yuju sebentar. Sedari tadi, gadis itu tidak berbicara banyak.

"Tapi aku tidak tahu kalau eomma dan appa pindah ke Seoul"

"Kami berpikir untuk pindah. Mungkin kami bisa memulai hidup baru di Seoul. Tapi nyatanya sulit. Kami tetap membawa barang-barangmu dengan kami"

"Benarkah?"

"Bahkan appamu meletakkannya dan menatanya di satu ruangan khusus"

Tak ada salahnya melihat ke sana. Dokyeom mengajak Yuju untuk ikut dengannya.

Ruangan itu ada di lantai dua. Bahkan di depan pintunya tertulis 'Lee Seokmin'.

Dokyeom membuka pintu itu perlahan. Mengintip ke dalam.

"Whoah..."

Ruangan itu mirip dengan kamarnya saat di Busan. Bahkan ranjangnya pun sama.

"Ini persis kamarmu dulu" Yuju menyusuri setiap sudut kamar itu. Ia hapal setiap benda yang ada di sana.

Dokyeom terduduk di sisi kasur perlahan.

Sampai ia menyadari kakinya menyentuh sesuatu di bawah kasur. Sebuah kotak.

"Kotak itu..."



☆ ○ ☆ ○ ☆



.



.



.



to be continued

SKYLINE | DK × YJ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang