38. Angel and Demons

4.7K 569 104
                                    

Setelah selesai makan, kami semua berkumpul di ruang tengah kecuali Arthur yang sedang ada urusan katanya. Itu membuatku lega, setidaknya aku bisa bernapas panjang karena Al tidak lagi diperhatikan secara tidak wajar dengan lelaki yang sedang pubertas itu.

Gemma benar-benar terlihat gemas dengan tingkah Alexa yang pendiam tetapi cerewet dan sangat kritis. Tak jarang Gemma mencubit pipi merah muda Al yang kerap kali memerah ketika ia malu atau tertawa. Suasana menjadi sangat hangat ketika Gemma dan Harry tak jemu-jemu menggodai Alexa mengenai Adam, anak Giselle dan Louis yang terus mendekatinya.

Di saat Al dan Gemma tertawa, Harry menoleh padaku memberi tatapan penuh arti yang mana membuatku bergetar seketika. Aku tak pernah menyangka tatapan itu kini bisa memutuskan urat sarafku. Harry lalu membisikkan sesuatu ke telinga Gemma lalu dibarengi dengan anggukan Gemma.

Sedetik setelah itu, Harry datang padaku yang duduk di sofa yang berbeda dengan mereka bertiga. Harry tidak duduk. Ia menjulurkan tangannya dan aku menatap teraneh padanya.

“Ikutlah denganku. Sebentar.” Katanya dengan sangat sopan seolah baru sebulan ini kenal denganku. Aku menoleh ke arah Alexa yang sama sekali tak menyadari jika Harry sedang berada di dekatku. Ia terlalu asyik dengan bibinya yang baru beberapa kali ia temui seumur hidupnya itu. Aku kembali menatap Harry yang menatap teduh padaku.

Mau tak mau aku menerima uluran tangannya. Sebagian diriku menolak ajakannya karena aku takut hatiku akan kembali berlabuh padanya. Tetapi sebagian diriku yang lain merasa jika ini benar-benar akan menjadi pertemuan terakhirku dengan Harry, dan aku harus membuatnya sebagai perpisahan yang baik. Entah dari mana datangnya firasat seperti itu tetapi aku menepis sesegera mungkin pikiran itu.

Harry menuntunku ke luar. Ke tempat yang sangat hijau di bagian rumah. Tempatnya seperti lapangan luas yang berada di tengah-tengah bangunan rumah yang mewah. Bahkan sepertinya halaman ini bisa dipakai untuk bermain sepak bola dan berpesta semalam suntuk.

Jantungku seperti direnggut dari jasadku ketika Harry tiba-tiba menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lututku melemas hingga aku tak dapat berdiri lagi di kedua kakiku jika saja tidak ada Harry yang memeluk pinggangku hingga kakiku tak menapaki lantai. Begitu erat dan penuh arti.

Aku terlena sebelum sadar jika ini tidak benar. Aku memukul punggung kekar Harry dan memaksanya untuk menurunkanku.

“Harry hentikan.” Kataku sambil mencoba keluar dari jangkauannya. Tetapi Harry langsung melepaskanku tanpa susah payah kumelawannya.

“Kapan terakhir kali aku melihatmu bahagia?” Harry memicingkan matanya membuatku terpaku. Bukan hanya mengenai tatapannya, tetapi juga pertanyaannya yang  terkesan menohok. Aku menutup mulutku yang baru kusadari terbuka sejak Harry menanyakan pertanyaan itu. Bahkan kini aku bertanya, apakah itu suatu pertanyaan atau sindiran?

“Kau salah paham Harry. Aku bahagia, sebelum atau setelah bertemu denganmu.”

“Setelah? Kau berkata seperti itu seolah kau dan aku takkan bertemu lagi.” Harry tersenyum miring sambil terus mendekat ke arahku. Yang bisa kupastikan saat ini adalah, itu bukan senyum miring Harrold dan itu membuatku sedikit lega.

“Jika itu memang terbaik.” Aku mengangguk tanpa bisa melepas jangkauan Harry terhadap diriku. Seolah ada benang tak terlihat yang mengikatku dalam balutan Harry. Ia bernapas di keningku. Hendak menciumnya tetapi sesuatu menahannya dengan keras.

“Tujuan pertama setelah aku keluar dari penjara adalah melihatmu bahagia Brit. Bukan hidup bersamamu, apalagi selamanya. Dan mendengar dari mulutmu barusan, membuatku terlepas dari bebanku. Jika kau bahagia, mengapa aku tidak?” suaranya bergetar terhimpit oleh kenyataan yang tak dapat ia ganggu-gugat. Tidak bahkan aku. Mau menagis pun rasanya hatiku sudah mati rasa. Mungkin itu juga yang dirasakan Harry.

(TERBIT) Alter Ego 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang