Kami telah bersiap untuk menghadiri upacara kemati-an Alina. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku meng-hadiri acara semacam ini lagi setelah kematian ibuku.
Berhubung Alina adalah dosenku, temanku, dan se-orang yang sangat baik, aku menghadirinya.
Aku tak dapat menghilangkan penjelasan Niall tadi dari kepalaku. Apakah separah itu aku menyakiti Harry? Hingga ia tak memiliki gairah hidup? Aku memegang dua nyawa di tanganku, Niall dan Harry. Aku harus memilih salah satunya untuk hidup—dan kenapa aku memilih Niall? Kenapa tidak Harry?
Hentikan, Brit! batinku mengancam.
Harry benar, aku adalah seorang malaikat. Malaikat pencabut nyawa.
Oh, Harry! Kenapa aku tak bisa memilikimu juga? Me-miliki Harrold juga? Kenapa?
Kami menaiki Range Rover Niall. Ia menyalakan mobil-nya dan kami pun berangkat.
Aku menatap Niall dalam diam. Berusaha menghindari kesadarannya yang sedang kujadikan pusat perhatian. Akankah aku lebih tolol dari ini jika aku memilih Harry? Aku mencintainya. Tetapi aku juga tak memiliki kekuatan untuk menyakiti makhluk di depanku ini. Dia terbuat dari cahaya, hidupku akan aman bersamanya, tanpa masalah. Aku harap begitu.
Egois? Kau bercanda. Aku juga memikirkan nasib Al. Harry juga pasti mengerti jika keputusanku ini tidak lain dan tidak bukan karena kepentingan Alexa. Memang Alexa akan terus berhubungan dengan Harry, sebagaimana seharusnya anak dan ayah. Tetapi, aku akan membatasi pertemuan mereka. Aku tahu cepat atau lambat Alexa akan menemukan keanehan ini. Tetapi tidak untuk sekarang, jangan sampai.
Kami sampai di kediaman Alina. Aku tak pernah ber-kunjung ke sini. Niall seperti sudah sangat hapal jalannya. Kami keluar beriringan, dengan Niall yang menggendong Alexa di lengannya, dan aku yang membawa sebuket bunga cantik.
Pakaian hitam kami segera bersatu dengan kepekatan semua orang. Niall segera berjabat tangan dengan seorang pria berkursi roda, aku pun mengikutinya.
Kediaman Alina sangat jauh dari kesan mewah. Rumah kecil nan indah dengan tamannya yang luas menyambut kami. Tetapi kini keindahannya harus tersapu sementara oleh rasa kehilangan yang dirasa semua orang di sini.
"Halo, Mr. Humer," sapa Niall. Aku memasang senyum terbaikku padanya yang terlihat begitu sendu. Tak bisa ku-bayangkan jika aku harus mengalami apa yang Mr. Humer alami di usiaku yang masih muda.
Bicara apa kau ini? batinku mendorong kepalaku keras. Apa-apaan aku ini? Aku tidak akan kehilangan siapa pun.
Iya, kan?
"Niall," Mr. Humer membalas.
"Al, kau ingin menjabat tangan Mr. Humer?" Niall menawarkan. Alexa yang dipangkunya dengan betah pun mengangguk.
Tangan kecil Alexa menggapai tangan Mr. Humer, dan memperkenalkan diri padanya.
"Aku turut berduka cita atas kehilanganmu." Niall memberi simpati. Aku selalu kagum dengan sifat Niall yang satu ini. Jika orang lain hanya berbasa-basi soal turut ber-duka cita, Niall mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ia seperti sudah mengenal Alina semenjak ia lahir. Rasa kehilangan tergambar jelas dalam mata biru samuderanya.
"Terimakasih. Berkat kau, Alina berpulang dengan pantas." Niall sedikit membungkuk ketika Mr. Humer ingin menepuk bahunya. Aku tersenyum melihat ini.
"Kau masuklah," gumam Mr. Humer.
"Kau tidak masuk?" aku menukas. Niall memelototiku dan kembali tersenyum pada Mr. Humer. Niall meng-angguk permisi.
"Sekali saja, rasa penasaranmu itu jangan berlebihan," Niall mengomeliku. Aku tidak mengerti di mana letak ke-salahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(TERBIT) Alter Ego 2
FanfictionI love you Brittany... I love you Alexa... I fucking hate you Harrold...