Begitu pintu keluar rumah sakit terbuka otomatis, angin malam langsung menyentuh kulit pipi Athayya. Udaranya dingin, apalagi ternyata saat Athayya memulai operasi, sedang hujan diluar. Membuat pelataran depan rumah sakit basah tersiram air hujan.
"Kenapa diam saja?" Sean memberhentikan langkah. Berbalik kebelakang saat Athayya yang berjalan dibelakangnya malah berhenti didepan pintu keluar.
Athayya bengong, lalu mengerjap dan mulai mengikuti langkah Sean yang besar.
"Kita mau kemana, dokter Sean?" Tanya Athayya.
"Apartemen saya." Jawab Sean sambil terus melangkah.
"Jalan kaki?" Tanya Athayya lagi.
Kali ini Sean menghentikan langkah. Berbalik lagi menghadap Athayya yang sekarang menghentikan langkahnya dan mata bulatnya menatap Sean dengan bingung.
Sean menghela napas, "Saya bingung kenapa dokter lemot kaya kamu bisa diterima di rumah sakit ini."
Athayya sontak terperangah mendengar ucapan Sean. "Lemot? Saya tidak lemot, dokter!"
"Terus, kalau bukan lemot, apa namanya?" Sean berkacak pinggang. "Suka bengong, susah mencerna perkataan saya. Sudahlah Athayya, yang penting sekarang kamu ikut saya saja!"
Athayya menggeram jengkel. Tapi tetap mengikuti langkah Sean saat dokter pemilik rumah sakit itu mulai berjalan lagi menuju lapangan parkir ternyata.
"Katanya anak pemilik rumah sakit, harusnya dia tinggal suruh satpam saja buat ambil mobilnya." Athayya bergumam sendiri. Sambil terus mengikuti langkah Sean. "Atau mungkin dia bisa panggil supirnya?"
"Berhenti bergumam tidak jelas, Athayya Abraham." Sean menghentikan langkah. Kali ini dia berdiri didepan mobil Ferarri hitam. "Cepat masuk. Jangan banyak tanya."
Athayya terperangah. Dia? naik mobil Ferarri? Dengan Dokter Sean? Oh Astaga! Ia tidak tahu ini disebut sebuah kesialan atau justru sebuah keberuntungan.
Sean lebih dulu masuk kedalam mobil Ferarri miliknya. Tetapi tidak membukakan pintu untuk Athayya.
"Cih, enggak romatis!" Decih Athayya. Tapi, untuk apa juga Sean membukakan pintu untuknya? Athayya bukan gadis special dokter itu.
Dengan langkah perlahan tapi pasti, Athayya melangkah mendekat Ferrari hitam milik Sean, membuka pintu penumpang yang hanya khusus untuk dua penumpang saja. Dengan wajah sok cuek nya Athayya duduk dikursi penumpang, lalu mengenakan seatbelt. Padahal dalam hatinya ia benar-benar menjerit. Merasa keren karena dia menaiki ferarri mewah ini. Merasa dirinya lebih cantik menaiki mobil ini, apalagi berdua dengan dokter Sean yang cukup tampan.
Diam-diam Athayya melirik Sean, tetapi Sean ternyata malah sibuk dengan ipad miliknya. Wajahnya serius, alisnya saling bertaut dan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pada layar.
Athayya berdeham, "Kita mau berangkat kapan, dokter Sean?"
"Jam berapa sekarang?" Tanya Sean. Masih dengan tatapannya yang fokus pada ipad lelaki itu.
"Jam?" Athayya melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Jam satu pagi."
Sean diam, mengucek matanya lalu meletakkan ipad yang tadi dia gunakan. Dalam diam Sean mulai menyalakan mesin mobilnya dan menjalankannya keluar lapangan parkir rumah sakit.
Athayya mengehela napas, bingung melihat Sean yang seperti ini. Tadi saat di koridor dan di lift, sepertinya Sean yang cerewet. Sekarang malah Sean yang pendiam begitu keluar dari rumah sakit. Ah, atasannya ini benar-benar aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Without Certainty
Roman d'amour-My second story on wattpad- ( Cinta Tanpa Kepastian ) Sebuah pertemuan tak sengaja mempertemukan Avi Sena dengan Athaya Abraham yang membawa mereka kedalam cinta yang rumit dan tanpa kepastian. Sedangkan Avi Sean, harus mempertahankan cintany...