13. Never Leave You

53.4K 1.5K 88
                                    

Athayya mendorong pintu ruang rawat inap bernomor 310 dihadapannya dengan sekali hentakan. Athayya berjalan cepat lalu langsung memeluk Arkan yang akhirnya sudah membuka matanya setelah koma lebih dari tiga hari.

"Arkan, akhirnya kamu bangun." Suara Athayya lirih menahan tangis.

"Kak," Arkan memandang wajah Athayya yang terlihat lelah dan menatapnya dengan khawatir. "Maafin Arkan, kak."

Athayya menatap Sheila, ibunya yang berdiri dibelakang Athayya sambil menatap dua anaknya itu dengan haru. Sheila kemudian tersenyum lembut dan berjalan keluar, membiarkan Athayya dan Arkan berbicara berdua terlebih dahulu.

"Rasanya kakak benar-benar ingin marahin kamu karena semua ulah kamu." Athayya menghela napas, lalu duduk di kursi yang disediakan untuk mendampingi pasien. "Tapi ngelihat kamu yang sekarat kemarin-kemarin, mana tega kakak marahin kamu."

Arkan tersenyum kecil, dia meraih tangan Athayya dan kemudian menggenggamnya. "Kemarin Arkan balapan motor karena dapat tawaran hadiah besar. Arkan pikir, dengan begitu Arkan bisa bantu kakak buat melunasi hutang yang ditinggalkan almarhum papa."

Tenggorokan Athayya terasa tercekat saat mendengar penjelasan Arkan. Athayya kira, Arkan melakukan balap motor hanya untuk kepuasan diri dan agar dia merasa hebat saja. Tidak mengira kalau tujuan Arkan adalah mendapatkan hadiah uang untuk membantu mencicil hutang almarhum ayah mereka.

"Kak, Arkan enggak mau kakak jual diri kaya begitu."

"Jual diri gimana?!" Athayya tersentak oleh perkataan Arkan.

Arkan menghela napasnya, "Arkan lihat kakak lagi clubbing sama cowok yang entah siapa itu. Dari penampilan cowok itu Arkan tahu kalau dia orang kaya. Kak, Arkan selama ini hanya tahu kalau kakak enggak mungkin mau dengan mudahnya di pegang-pegang sama cowok. Tapi kemarin sebelum Arkan ikut balapan, Arkan lihat sendiri kakak mau dicumbu sama dia. Bahkan Arkan tahu kalau akhirnya kakak masuk di salah satu hotel di club iu."

"Arkan!" Tanpa sengaja Athayya membentak Arkan. Dadanya bergemuruh menahan amarah mendengar cerita Arkan.

Arkan hanya menatap Athayya dengan datar. "Udahlah kak, jaga harga diri kakak sebagai perempuan yang baik. Arkan enggak mau kakak jadi lebih susah lagi karena perlakukan kakak itu."

Athayya diam tercenung. Omongan Arkan sedikit menyadarkannya. Sebetulnya, dengan Athayya tidur dan melayani Sena setiap malam, Athayya selalu mendapat cek dari Sena dan Sena bahkan mau menuruti semua permintaan Athayya.

Lalu karena menghabiskan malam dengan Sean, Athayya juga bisa membiayai seluruh pengobatan Arkan.

Lalu, apa bedanya dengan menjual diri? Athayya merasa dirinya sudah seperti pelacur. Kembar Sena dan Sean hanya memanfaatkan tubuhnya saja demi napsu lelaki mereka.

"Maaf Arkan sudah bikin kakak dan mama repot juga khawatir sama Arkan." Arkan mengulum bibirnya. "Mungkin kalau malam itu Arkan meninggal, kakak enggak bakalan susah-susah lagi cari uang buat biaya perawatan Arkan dirumah sakit."

Athayya sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis memeluk Arkan yang berbaring lemah di kasur.

"Arkan enggak boleh ngomong gitu. Arkan enggak boleh mengira kakak perempuan bayaran. Semau rezeki diatur oleh Tuhan, Arkan. Kamu harusnya berterimakasih karena Tuhan masih memberi kamu keselamatan."

Tangan kiri Arkan yang tidak tertancap selang infuse terangkat untuk mengusap punggung Athayya dengan lembut.

"Iya kak, maafin atas semua kelakuan Arkan." Ucap Arkan menyesal.

Love Without CertaintyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang