NINE

47.1K 1.7K 54
                                    

"Maaf, menunggu lama. Jalanan sedikit padat tadi," sapa Elle. Saat ketiga orang itu menoleh ke arahnya, tubuh Elle menegang sempurna. Bahkan tanpa bisa dicegah, air mata Elle sudah membanjiri kedua pipinya, bahkan tubuhnya juga mulai bergetar.

- - -

"El-lle," panggil wanita paruh baya sambil berjalan mendekati Elle. Wanita paruh baya itu mendekap tubuh Elle yang gemetar itu.

"M-mama," ujar Elle dengan suara tercekat dan terdengar lirih.

"Iya, Sayang. Ini Mama, jangan pergi lagi El. Mama enggak bisa kehilangan kamu," ujar Fania seraya menggelengkan kepalanya kuat sambil memeluk tubuh Elle, bahkan wanita itu berujar dengan sedikit histeris.

"Tapi Elle kotor, Ma. Elle kotor," raung Elle di dalam dekapan sang mama. Adrian dan David mengalihkan pandangan mereka dari dua wanita yang sangat berharga bagi mereka.

Fania merangkum wajah Elle, ibu jarinya dengan lembut menghapus air mata yang mengalir membasahi pipi Elle. "Ssstt ... dengerin Mama, El. Kamu enggak kotor, kamu tetap putri kecilnya Mama dan Papa. Ini diluar kemauan kamu, Sayang. Ini bukan kemauan anak cantiknya Mama," tutur Fania lembut dengan sesekali terisak, bahkan wanita paruh baya itu menangis saat menatap dalam mata sang puteri.

Fania kembali mendekap tubuh Elle. "Jangan katakan itu lagi, Princess. Hati Mama sakit dengar kata-kata itu," Elle menganggukkan kepalanya di dalam dekapan sang mama.

Fania melepas dekapannya pada tubuh Elle, wanita paruh baya itu mengecup lembut kening, kedua mata Elle, dan terakhir pipi Elle. "Mama sayang, kamu. Jangan pernah pergi lagi, Sayang," ujar Fania yang dianggukki oleh Elle.

Kini Adrian berdiri dari duduknya, pria paruh baya itu terlihat mengusap air mata yang menggenang di sudut matanya. Pria yang masih terlihat muda di usianya itu berjalan mendekat ke arah sang puteri.

Adrian merangkum wajah sang puteri sambil tersenyum lembut. "Anak Papa sudah besar, ternyata," ibu jari Adrian bergerak membelai lembut rahang Elle.

"Sepertinya baru kemarin, Papa histeris waktu kamu pertama kali bisa panggil Papa," Adrian masih mempertahankan senyumnya, matanya menatap tepat di manik mata Elle.

"Papa udah mau jadi Kakek, sekarang," ujar Adrian dengan nada yang dibuat segembira mungkin, pria paruh baya itu mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya.

Tangan Adrian terulur mengelus perut Elle yang sedikit membuncit. "Wah udah mulai keliatan nih, cucu Opa," ujar Adrian. Tangan Fania ikut terulur mengelus perut sang puteri.

"Wah, iya. Usianya berapa El?" tanya Fania penasaran.

"Udah sepuluh minggu, Ma," jawab Elle.

"Kamu enggak ada ngidam gitu, El?" tanya Fania yang di jawab gelengan kepala oleh Elle.

David jengah dengan kelakuan kedua orang tuanya. "Ma, Pa. Biarin Elle duduk, si. Kasihan itu dari tadi berdiri," ujar David.

"Astaga ... kamu si, Pa. Aku sampe lupa ajak Elle duduk," ujar Fania lalu menuntun Elle duduk di sofa panjang milik Elle itu.

"Dia yang ngajak ngobrol kelamaan, gue yang di salahin. Untung lagi ada Elle sama David, kalo enggak udah abis gue gempur lu Fan," batin Adrian.

Mereka melanjutkan obrolan keluarga mereka hingga sepakat, akan menginap di rumah Elle selama seminggu. Lalu setelahnya mereka memutuskan untuk membeli rumah di kawasan yang sama dengan rumah Elle.

Awalnya Fania dan Adrian bersih keras Elle tinggal satu atap dengan mereka, namun Elle menolak. Elle ingin tetap tinggal dirumahnya, akhirnya mereka setuju saja karena jika tidak Elle mengancam akan pergi lagi.

Gennaíos Lámpsi (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang