Aku kesal mengingat ucapan Ayah semalam. Ia berkata bahwa ia akan menjodohkanku dengan salah satu anak sahabatnya. Mengapa pikiran Ayah sangat ortodoks? Tak cukupkah selama ini ia selalu mengatur hidupku? Yang membuatku menjadi dokter sekarang ini juga karena paksaan beliau.
"Udah, dong Via. Terima aja apa yang dibilang sama Ayah lo. Dia kayak gini juga karena sayang sama lo," kata Santhi, sahabatku. Huh! Andai apa yang Santhi bilang itu mudah untuk dilakukan. Mengikhlaskan memang tidak mudah, bukan?
"Tapi Ayah terlalu ortodoks. Kolot. Emangnya dia kira gue nggak bisa nyari jodoh gue sendiri?!" Aku emosi. Aku menumpahkan semua yang ingin aku keluarkan sejak kemarin. Aku diam. Tak lama kemudian, air mata membasahi kedua ppipiku. Aku lelah. Aku ingin bebas dan menentukan jalan hidupku sendiri.
Santhi diam dan sesekali mengusap punggungku. Menguatkanku dan memberi semangat. Aku sangat menyayangi Santhi, melebihi seluruh anggota keluargaku yang otoriter itu.
"Yaudah, gue terima aja. Gue capek berantem sama Ayah," putusku.
KAMU SEDANG MEMBACA
31 Days Writing Challenge
De TodoKumpulan cerita pendek yang akan di update setiap hari pada bulan Desember 2016 dengan keywords yang berbeda setiap hari nya. #31DaysWritingChallenge