part 1

5.6K 197 6
                                    

Tata pov...

Anak orang kaya?

Kupikir cerita tentang kehidupan orang yang miskin lebih baik dibandingkan kehidupan orang kaya, hanyalah sebatas dongeng belaka.

Dongeng penghibur hati dari setiap orang tua pada anaknya yang kadang memimpikan untuk menjadi orang kaya.

Namun rupanya benar. dongeng itu bukan hanya sebatas penghibur hati, tapi kisah nyata.

Anak orang kaya yang malah ugal-ugalan, bebas tanpa ada kasih sayang dari orang tua, aku sering terkekeh kala membaca novel yang mengisahkan hal-hal tentang itu.

Tak tahu syukur.

Tapi rupanya sekarang aku menjadi tokoh utamanya, tokoh utama dalam novel yang sering ku baca, tokoh utama dalam novel yang ceritanya tadi kutertawakan. Dan akhirnya aku menertawakan diriku sendiri.

Memandang kosong kedepan, dan menganggap hal yang sedang bersuara itu hanya sebatas kicauan, itulah yang sedang kulakukan sekarang. Hanya sekilas aku memandang kearah kakak keduaku yang tersenyum, mendengar aku dimarahi oleh ayah.

"Seperti ayam. Sekali dia bertelur, tidak semua telurnya akan bagus bukan Sa," ayah memandang kearah Kak Lisa, pembantu keluarga kami yang baru bekerja 6 bulan disini. aku memandang kasihan kearah Kak Lisa yang mengelap meja makan didepanya dengan tangan bergetar, kenapa wanita yang seumuran dengan kakak keduaku itu ikut disalahkan.

"Begitupun disini. Tidak semuanya baik, ada saja yang malah membuat malu keluarga,"
Sindir Ayah, yang tentu saja mengarah padaku.

Anehnya, meski mendengarnya beberapa kali, aku tetap merasa miris terhadap nasibku. Kadang rasanya ingin menangis, dihina dianggap seolah-olah  hanya akulah yang menjadi jeleknya disini. Padahal apa yang sudah aku lakukan? hanya berphoto bersama teman-teman disebuah pantai, lalu malamnya aku mendapat ceramah yang rasanya begitu menghina. Lalu sekarang? Ayah dengan suksesnya memarahiku, hanya karna mendapati seorang teman laki-laki datang kerumah untuk meminta sebuah file, aku hanya duduk diluar rumah, bukan didalam rumah, dan melakukan hal-hal senonoh yang membuat malu keluarga.

"Seharusnya kamu lihat Tari, kamu harus mencontoh kakakmu,"

Mulai sudah, seharusnya Ayah itu cocoknya jadi Juri, sangat ahli membanding-bandingkan orang lain, rasanya menjadi kepala departemen rumah sakit  tidaklah cocok.

Dan melihat senyum penuh bangga kak Tari, aku ingin sekali berteriak bahwa Kak Tari tak sepolos itu, tak semembanggakan itu. Andai saja aku tak mengingat, bahwa perkataanku malah akan semakin memperkeruh susana. Toh juga, aku berteriak pakai Toa sekalipun ayah tak akan mendengarnya, Ia hanya akan tetap memandang kak Tari seolah putri kraton keluarga ini.

"Sudahlah. Sekali lagi melakukan itu, maka kamu tahu sendiri apa akibatnya kan Arita Agreha."

Dan dengan mengabsen nama lengkapku, Ayah kemudian berlalu disusul dengan senyum penuh bahagia dari kak Tari.

Buaghh...

rasanya semua amarah dalam ubun-ubunku serasa hilang, saat melampiaskanya dengan sangat bersemangat, pada adik tercintaku yang hanya sibuk dengan Gamesnya dari tadi.

"Nggak ngerasa gitu pengen belain Gue," Ucapku saat Ia hendak membantah, karna pukulanku dikepalanya.

"Dan membuat Gue ikut terjebak dengan emosi Ayah. Mikir seratus kalipun Gue ogah ya."

Aku hanya mengangkat sudut bibirku saat punggung tegak itu berjalan dengan santai, kembali fokus dengan ponsel ditanganya.
Ya, Saudara yang hanya sebatas setatus saja.

Suara barang terjatuh, membuatku menoleh kearah kak Lisa  yang dengan terburu-biru memungut gelas yang jatuh. Untung saja itu plastik, jika kaca, aku tak yakin bahwa ceramah itu tidak akan bersambung kembali.

My guardian angelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang