35.

1.5K 138 8
                                    

Tata pov.

Seharusnya aku tahu Ayah tak akan pernah menyuruhku pulang kesini, jika saja itu bukanlah usulan dari Bang Alvin.

Menghela nafas aku memakan makanan malam dalam diam, seharian disini Ayah belum menyapaku, atau sekedar bertanya kapan nyampai dirumah. Hanya Adit yang sedikit terkejut melihat kehadiranku. Dan juga Kak Tari yang kembali mengasah bakat aktingnya dengan berpura-pura bahagia.

Baru dua hari disini dan aku hanya menghabiskan waktu didalam kamar, keluar jika waktu makan saja, atau aku memerlukan sesuatu. Pernah berpikir saat didalam kereta, bahwa mungkin kepulanganku kali ini aku bisa menghabiskan waktu banyak bersama Ayah. Nyatanya tidak, semuanya masih sama. Dan aku tahu alasanya, karna Ayah memang tak pernah menginginkanku disini.

"Bagaimana disana?," menselonjorkan kaki, lalu bersandar pada punggung kasur, mencari posisi yang nyaman, sebelum akhirnya aku menjawab muka penasaran Kak Gab yang tertampil di layar Hp-ku.

"Masih belum membuatku ingin melapor ke polisi," candaku.

Meski dalam hati aku ingin mengatakan, bahwa disini sudah sangat cukup membuatku ingin kembali kebangunan rumah bertingkat dengan warna cream itu. Tapi aku sadar diri, untuk tidak membuatnya khawatir lagi.

Kak Gab memutar bola mata.

Aku jadi merindukanya. Jika biasanya dia akan selalu mencuri-curi kesempatan untuk memelukku, tapi selama dua hari ini aku tak lagi merasakan kenyamanan dalam dekapanya.
Jadi teringat senyuman dengan deretan gigi yang terlihat.

"Sepertinya kamu belajar melawak disana. Dan kakak katakan itu sangat tidak berhasil. Mendengar itu tidak membuatku tertawa," dan aku tergelak karna ucapanya.

Aku sempat kehilangan wajahnya karna tanganku yang memegang hp bergoyang, akibat tawaku sendiri. Saat sudah bisa melihat wajahnya, aku dapat melihat backround tempatnya saat ini. Dan itu membuatku sedikit bertanya-tanya.

Ruangan yang dibelakangnya berderet buku-buku tebal. Jika saja beberapa hari lalu aku tidak sering mengunjungi tempat itu, aku tak mungkin tahu bahwa kini buku-buku serta beberapa patung organ itu tak lain adalah benda-benda yang berada diruangan Kak Gab.

Kak Gab disana, diruangan kerjanya dirumah sakit.

Aku tak akan heran. Karna rumah sakit dan kak Gab seperti hal yang tak perlu kupertanyakan lagi. Rumah sakit seakan menjadi rumah kedua pria itu. Tapi, jika saja Kak Gab tidak disana saat pukul satu dini hari, mungkin aku tidak akan bertanya-tanya.

Aku belum mengatakanya ya, alasan pria itu ada dibalik layar handpone ku malam ini, adalah karna aku yang tak bisa tidur, dan menghubunginya.

"Kakak dirumah sakit?,"

Sesibuk-sibuknya Kak Gab dia tidak akan menghabiskan malam dirumah sakit. Pria itu akan lebih memilih pulang. saat ku tanya dia mengatakan, ini rumahku, bukankah artinya aku harus pulang kesini.

Saat aku ingin menuntut jawaban yang lebih jelas, dia sudah lebih dulu, membawaku kedalam dekapanya, membuatku lupa akan hal-hal yang ingin kutanyakan.

"Iya. Mau tidur disini."

"Kenapa nggak pulang?,"

"Karna nggak ada kamu," Aku tak tahu harus percaya atau tidak, yang jelas kini aku tengah mengalihkan Hpku, agar Kak Gab tidak melihat pipiku yang sudah kutebak berwarna merah, kak Gab semakin menjadi saat aku mengatakan ingin memulai bersamanya, "Rumah sepi. Mama belum pulang. Dan kamu juga ninggalin kakak."

Dia terlihat seperti pacar alay.

"Kakak merindukanmu," rengeknya. Bibirnya yang pernah kucecap sekali itu sedikit memberungut, matanya mengerling polos, dia tampak sangat tampan dengan ekspresi seperti anak-anak.

My guardian angelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang