20.

1.3K 110 0
                                    

Author pov.

Bau khas tumbuhan mawar langsung tercium memenuhi rongga dadanya saat memasuki kembali rumah yang beberapa kali Ia inapi saat malam minggu.

Bau harum menyeruak, memberikan sedikit ketenangan.

Tata sudah berada didepan pintu dengan kursi roda yang sekarang malah menjadi transportasinya kesana kemari. Yang membatasi ruang geraknya. Tak bisa lagi bergerak sebebas dulu, selama satu bulan kedepan.

Masih dengan nafas yang tegang, Gabriel membuka knop pintu , dan tiba-tiba bunyi door itu tertangkap jelas ditelinga mereka. Tata hanya bisa melongo ketika menatap Adis dan juga Rahma-ibu Adis- berdiri sambil memegang trompet kecil.

"Selamat datang lagi," Adis membentangkan kedua tanganya sambil tersenyum, lalu memeluk wanita itu dengan erat.

"Kamu baik-baik aja kan?," raut wajah khawatir tante rahma terlihat dengan jelas. Keningnya berkerut menunggu jawaban Tata, "Aku baik-baik saja Tante,"

Sedikit terharu, melihat keluarga itu begitu membuka tangan menyambut kehadiran Tata. Menjadi orang yang pertama kali dilihatnya saat kesadaran waktu itu. Hal yang tak Ia dapati sama sekali dari orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluarganya.

Perasaan marah itu datang lagi, berbarengan dengan kekecewaan. Sepertinya Tata harus terbiasa, karna rupanya Ia akan menjadi sasaran empuk takdir untuk mereka permainkam.

"Tante khawatir sama kamu." Ucap Rahma lagi. Tata hanya bisa membalasnya dengan senyuman.

"Tata butuh istirahat Ma," suara khas itu membuat Tata tersadar Ia tak mendengar suara itu sepanjang perjalanan mereka. Terakhir Ia bicara saat Ia tiba-tiba merasakan pelukan hangat dari kakak sahabatnya, mengucapkan kata yang memberikan ketenangan padanya.

Mengingat itu, Tata merutuk diri. Bagaimana bisa Ia menangis didepan Gabriel, disaat Ia berhasil menyembunyikan itu di depan semua orang. Bagaimana bisa Ia mempercayai kakak dari Adis itu sehingga membiarkan pria itu melihat tangisanya.

"Dikamar Adis aja Kak. Biar nanti kalau Tata butuh apa-apa, Adis bisa ambilin."

Andai saja Tari bisa bersikap seperti Adis.

Mungkin dia akan sangat menyanyangi kakak perempuanya itu, tapi sayangnya perempuan itu membencinya.

Tanpa aba-aba Gabriel mengangkat tubuhnya, "bawa kursi rodanya ke atas Dis." Rona merah langsung menjalar di bagian pipi Tata, karna posisinya yang digendong seperti gendongan Ala pengantin.

Adis mengangguk melipat kursi
Roda itu, kemudian Ia membawanya keatas,

Sempat didengarnya wanita paruh baya nan lembut itu berucap memperingatkan, "Hati-hati Gab,"

Kenapa keluarga ini begitu bersikap hangat padanya, menerimanya dengan tangan terbuka disaat keluarganya sendiri terasa seperti orang asing.

Ahhh,,, Tata jadi berharap Ia adalah putri yang hilang dari keluarga ini.

Gabriel menurunkan Tata diranjang adiknya, memberikan posisi yang tepat. Ia sudah akan berbalik, saat tanganya dicekal wanita itu, "ingat Kak, jangan kasih tahu siapapun," ucapnya menatap lekat sorot mata dokter muda itu.

Gabriel menghela nafas sebelum akhirnya Ia mengangguk lemah, lalu secara spontan mengangkat tanganya, mengelus rambut itu dengan pelan, "sebagai imbalanya cepatlah sembuh," ucap pria itu dengan senyum.

Sejenak Tata terpaku. Pantas saja, Adis begitu menyanyangi pria dengan penuh kelembutan itu. Ia saja jika memiliki kakak seorang Gabriel pasti akan sangat bahagia. Dan entah kenapa, ia ingin menganggap pria itu sebagai saudaranya.

My guardian angelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang