36.

1.3K 102 0
                                    

Tata pov.

Ketika seseorang berkata jika 'tidak tahu' lebih baik dibanding 'tahu', karna kamu belum tentu bisa menerima kebenaran yang kamu ketahui. Aku akui itu benar.

Aku meringkuk, menutup mata, berpura-pura tertidur saat suara kaki memasuki kamarku. Aku menahan diri kuat-kuat agar tidak bergerak seincipun, atau mengeluarkan suara sekecilpun, agar pemilik tangan yang tengah menaiki selimut sampai dadaku itu, percaya bahwa aku tengah tertidur.

Pilihan tepat saat aku tidak memilih membuka mata, saat merasa orang itu sudah pergi, karna nyatanya dia masih tetap berdiri, dan aku mengetahui itu saat merasakan sebuah kecupan hangat pada puncak kepalaku. Lalu suara lirih yang berbisik, membuatku tahu siapa itu.

"Maafkan Ayah."

Ayah.

Aku menahan nafas, hanya agar mataku tidak turut mendukung hatiku yang sedang terenyuh. Gigiku menekan pelan pada bagian dalam bibirku, hanya agar isakan yang sedang tertahan tidak terdengar.

Suara pintu tertutup itu membuatku membuka mata pelan, yang sedikit basah.

Salivaku terasa seperti gumpulan permen karet yang sangat susah tertelan.

It's dream.

Aku sedang bermimpi kan!. Aku sedang duduk digumpalan awan putih itu bukan!. Rentetan kata yang kusimak tadi hanya sebatas pengantar tidurku, suara percakapan antara Ayah dan Bang Alvin hanya sebatas melodi indah yang mampir ditelingaku, bukan!.

Apa yang aku dengar didepan kamar Ayah tadi tidak benar. Mereka adalah orang-orang yang menyakitiku, tidak, tidak mungkin mereka___

Aku menutup mulutku, lagi.

Mereka hanya orang-orang yang membencimu. Mereka tidak pernah memperdulikanmu Tata. Tadi itu tidak benar. Itu tidak benar.

Meski aku sangat berharap mereka akan menyanyangiku, tapi tidak dengan ini. Aku lebih suka berpikir mereka membenciku, daripada mengetahui mereka melakukan itu untuk melindungiku.

Apa maksud Ayah, apa maksud Bang Alvin. Apa maksud mereka berdua?

Mereka hanya orang-orang yang menyatiku. Ya! Mereka tidak mau melihatku disini.

Ayah masih pria paruh baya yang tak pernah menyukai kehadiranku. Bang Alvin masih saudara yang hanya peduli pada Kak Tari.

Aku lebih suka memikirkan hal itu, dibandingkan memikirkan kebencianku karna mereka melindungiku.

Nyatanya sesakit ini, saat mengetahui seseorang membencimu dengan alasan melindungimu.

Melindungi dari siapa? Kak Tari. Meski aku tahu Kak Tari tak pernah menyukaiku. Meski aku tahu beberapa kali kakak wanitaku itu membuatku terpaksa terkena dampratan Ayah. Tapi mengusirku dari rumah, membuatku seolah bukan anggota keluarga ini. Apa mereka pikir itu cara yang benar.

Menorehkan setiap luka, meninggalkan kekecewaan, hingga berakhir kebencian.

Itu yang Ayah sebut melindungi. Itu yang mereka sebut melindungi dari Kak Tari.

Nafasku naik turun, karna terisak. Wajahku ku tenggelamkan dalam kumpulan kapuk yang dibungkus menjadi sebuah bantal. Tak peduli jika ruangan nafasku berkurang, tak peduli jika menutupi wajahku akan membuatku sesak, karna sebenarnya sedari tadi dadaku sudah seperti terhimpit. Nafasku terus tercekat dengan tangis tertahan. Bahuku bergetar, hanya karna mereka lagi.

Aku tak tahu harus seperti apa, setelah mendengar itu semua.

Deringan ponsel yang tiba-tiba berbunyi tak bisa membuatku menghentikan tangis, atau sekedar melihat nama pemanggil yang tak menghentikan panggilanya.

My guardian angelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang