Kata-kataku benar-benar lancang. Dan aku tidak peduli. Setidaknya aku harus mengajarkan apa arti syukur pada pria ini.
Justin tak menjawab dan lebih memilih mengalihkan pandangannya dariku. Saat kupikir ia tak mendengarkan ucapanku, kata-katanya membuatku sedikit tertegun.
“Maafkan aku.”
Aku masih berdiri terdiam menatapnya yang kali ini juga menatapku. Hingga kini, aku belum pernah menemukan tatapan teduh sekaligus membunuh dari mata siapapun. Hanya dia, hanya dia yang memilikinya.
“Tak ada salahnya mencoba untuk berjuang.”
Masih dengan jarak dua meter aku mengatakan itu padanya. Dia mengerutkan dahinya.
"Kau peduli?"
“Tentu saja.”
“Kenapa?”
Aku hanya menggeleng. Semua orang akan meneriakiku gila jika aku menjawab karena aku menyukainya.
Hingga suara engsel pintu yang tergeser membuatku mengalihkan pandanganku kearah belakang. Seorang wanita paruh baya, dengan balutan dress santai panjang selututnya tiba-tiba berlari dan memeluk Justin disana.
Aku terdiam memandang mereka.
“Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit? Astaga, aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan.” Ceracaunya lalu mengecup wajah Justin berkali-kali. Sepertinya wanita ini adalah ibunya.
“Aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir.” Balas Justin lembut.
"Bagaimana bisa aku tidak khawatir? Kau putraku satu-satunya. Jika sesuatu terjadi padamu, aku benar-benar akan kehilangan akalku." Lagi lagi wanita itu menunjukan rasa khawatirnya. Kulihat Justin hanya tersenyum lembut lalu mengusap rambut coklat milik ibunya dengan lembut.
“Tak apa Ibu. Malam nanti aku juga sudah dibolehkan pulang. Aku baik-baik saja, sungguh.” Balas Justin menenangkan.
Setelahnya mereka melepaskan pelukan mereka. Dan ibu Justin beralih menatapku.
“Terima kasih sudah mengurusnya selama aku tiada.”
Aku mengangguk kecil dan tersenyum. Wanita itu membalas senyumanku.
"Namaku Pattie, siapa namamu?" Tanyanya.
"Aku Bella, Bella Harnold." Pattie mengangguk lalu menyudahi tatapannya dan kembali menatap Justin.
“Dimana Dad?”
"Dia membeli sesuatu dulu dibawah. Kau tidak perlu khawatir." Balasnya.
"Kalau begitu, aku harus pergi. Kalian bisa memanggilku jika tiba-tiba membutuhkan sesuatu." Ucapku lalu menunduk dan berbalik pergi. Namun, baru beberapa langkah kakiku bergerak, Justin menghentikanku.
“Kau belum menyelesaikan tugasmu.”
Aku berbalik dan menatapnya meminta penjelasan, “Tugas?”
“Ya, kau harus menemaniku ketaman jika aku sedang berada disini.”
Aku terdiam, dan Justin mengulurkan tangannya kedepan memintaku untuk menuntunnya.
••~••
Mataku tak henti-hentinya berkedip memandang kepergian mobil Justin yang sudah semakin menjauh dari tempatku berada.
Justin sudah dibolehkan pulang beberapa menit lalu. Setelah sebelumnya menerima beberapa anjuran dulu dari Harry.
Kau berpikir aku yang mengantar kepulangannya sampai keparkiran? Jawabannya tidak. Aku hanya bersembunyi dibalik tiang dan berharap bahwa dia melirik kearahku dan memberikan seutas senyum terakhir untukku. Bukannya mendapat senyuman itu, aku malah mendapat tatapan bingung dari Harry.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.