Hari kelima setelah sadarnya Justin, aku kembali menyinggungnya soal waktu. Dan jawabannya membuatku tak bisa berkutik bahkan untuk menghela nafas.
••~••
“Harry memintaku untukmu meminum pil ini agar kau cepat pulih.”
Aku menyodorkan sebuah pil di tanganku dan segelas air putih padanya. Ia yang sedang terduduk di ranjang sambil terfokus pada tab miliknya mengalihkan pandanganya padaku.
“Simpan saja dulu obat itu, lihatlah ini, aku sudah menemukan Villa yang cocok untuk berlibur nanti.”
Balasnya sambil menyodorkan tab itu padaku. Aku tak enyah, dan lebih memilih menyimpan pil dan air itu di meja lalu melenggang pergi. Diambang pintu aku sempat berhenti dan berbalik padanya,
“Sebelum aku kembali, pil itu harus sudah habis.”
Satu jam berlalu hingga akhirnya aku kembali, tebakan yang benar! Dia tak menyentuh pil itu sama sekali.
“Apa kau tidak mengerti maksud dari ucapanku tadi? Atau otakmu kembali rusak hingga tidak bisa berjalan dengan baik? Aku bilang habiskan obatmu Justin.”
Justin yang saat itu sedang memejamkan matanya terlihat terkejut dan langsung terduduk dengan mata yang mengarah padaku. Tatapannya menyiratkan sebuah kebingungan disana. Lagi lagi aku menghiraukan itu semua dan menyambar obat di meja yang sebelumnya aku simpan lalu menyodorkan itu padanya. Justin menerima dalam diam. Selesai meminum obatnya, ia menyodorkan gelas air di tanganya padaku.
Baru saja aku akan berbalik pergi, tangannya menahanku
“Apa salahku kali ini?”
Aku terdiam.
“Tadi pagi kau pergi tanpa membangunkanku, dan datang kembali dengan obat sialan itu lalu pergi dengan sikap tak pedulimu. Dan sekarang kau datang dengan membentakku, bahkan membangunkanku dengan cara yang kasar. Katakan, apa kesalahanku kali ini?”
Aku masih terdiam.
“Dan seingatku mulutmu masih bisa digunakan dengan baik hanya sekedar menjawab pertanyaanku.”
“Tapi aku tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan apapun darimu.”
Balasku lalu berusaha untuk pergi. Namun Justin kembali menahanku.
“Pergi lagi? Apa aku lupa mengatakan bahwa kau harus menghilangkan sikap egoismu itu?”
Aku melebarkan mataku, “Egois katamu? Dari sudut pandang mana kau berhak mengatakan aku egois huh?”
Ia menghela napasnya sebentar lalu mengusap wajahnya.
“Lupakan, bukankah pasangan kekasih harus saling terbuka dalam masalah? Jika aku memiliki kekurangan kau boleh mengatakan—“
“Pasangan katamu? Apa kau sendiri tahu apa yang diinginkan dari setiap pasangan di dunia ini? Menghabiskan waktu selama mungkin bersama pasangannya. Dan kita? Astaga, tentu saja aku mau! Tapi tidak denganmu. Jadi sebaiknya kau koreksi dirimu sendiri, agar kau mengerti siapa yang sebenarnya egois disini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.