kuingat dengan jelas, saat aku Berjuang keras agar kau melupakanku, namun hasilnya kau tetap mengingatku.
••~••
Paginya, aku kembali menjenguk Justin di ruanganya. Pattie sudah tak ada, mungkin ada sesuatu hal penting yang harus ia kerjakan. Aku juga tak keberatan, karena saat itu aku sudah bebas kerja.
Dengan buku diary kecil di tanganku dan pena biru yang aku selipkan di dalamnya, aku duduk di kursi dekat bangkar sambil tersenyum menatap Justin.
Aku simpan diary-ku di meja dekat bangkar, yang sudah dua minggu ini kosong karena asupan Justin di berikan melalui cairan impus.
“Hai, apa kabar? Kekasih romantisku,”
Aku menggengam tangannya lalu kukecup sekilas.
“Ayolah, aku sudah terlalu sabar menunggumu.”
“Kau tak merindukanku?”
“Malaikat mautnya sudah kuusir. Kembalilah kemari, aku merindukanmu bodoh.”
“Jika nanti kau melupakanku, aku tak apa. Aku sudah terbiasa jika harus melihatmu dari jauh, jadi bangunlah.”
“Mana janjimu yang mengatakan ingin hidup denganku lebih dari dua minggu lagi?”
“Aku disini Justin, aku tak akan pergi lagi darimu.”
Kuucapkan semua yang ingin kuucapkan saat itu, walaupun aku tahu tak ada sedikitpun respon yang akan kudapatku. Hingga akhirnya aku mulai menuliskan untaian demi untaian kata pada kertas putih bergaris tipis itu.
Aku tidak tahu bagaimana untuk menceritakannya dari awal, karena aku bukan seorang penyair yang pandai merangkai kata-kata puitis indah. Aku juga bukan seorang penulis biografi yang handal, atau seorang pembuat cerita sedih yang mampu membuat setiap remaja menangis saat membaca cerita ini.
Aku hanya seorang wanita miskin yang dipertemukan dengan cinta menyedihkan. Tak ada yang istimewa, sungguh. Hanya dirinya yang membuatku merasa istimewa.
Dan aku tak berniat untuk menceritakan tentang betapa istimewanya aku karenanya, sebaliknya aku ingin menceritakan bagaimana tampannya kekasihku. Tapi karena itu, aku juga harus menceritakan hal lain lagi di sini. Namaku Bella, dan inilah ceritaku.
••~••
Harry mengajakku makan siang di kantin rumah sakit, saat tak sengaja ia melihatku sedang terdiam menunggu Justin. Saat itu aku sudah menolak, dan Harry tetaplah Harry. Dia tidak akan menyerah sebelum keinginannya terwujud.
“Kau kurus sekali saat ini,”
Komentar Harry saat aku sedang menyantap spaghetti pesananku.
“Itu hanya perasaanmu saja.” Balasku singkat tanpa menatapnya. Lalu Harry menarik daguku agar aku mendongak dan menatapnya, sialan.
“Tidak, tulang rahangmu bahkan terlihat sangat jelas sekarang.” kekehnya. Aku menghembuskan napasku gusar dan menghindar dari tatapan Harry.
“Aku tak apa, jangan khawatirkan aku.” Balasku lagi. Tetap, aku tak menatap kearahnya.
“Justin akan bangun. Percayalah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.