Penantianku ini, kutau semua itu tak akan sia sia
***
Jeremy menyandarkan punggungnya di kursi koridor. Matanya menutup sempurna untuk beberapa saat, lalu kembali ia buka.
Dan aku menghampirinya. Terduduk di sisinya lantas menatap lurus kearahnya. Aku tersenyum kecil sebagai bentuk sopan santunku.
“Kau sudah makan?” Tanya Jeremy sambil membenarkan posisi duduknya. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Well, putriku, aku harap kau tidak terlalu memikirkan tentang Justin. Karena Itu hanya—“
Jeremy tak melanjutkan ucapannya. Ia menggeleng seakan sadar, bahwa yang ia ucapkan saat itu salah.
“Tuan Jeremy—“
“Panggil aku ayah!” Potongnya membenarkan. Aku mengangguk kecil.
“Ayah, aku pernah mendengar cerita seekor anak kambing yang masih tetap ingin hidup walaupun ia dilahirkan tanpa kaki dan mata. Seluruh keluarganya merasa iba dan tak tega melihat keadaan anak kambing itu. Dan yang anak kambing itu katakan pada keluarganya, adalah... ‘Aku ingin mati!’ namun, apa kau tau apa yang tiap malam anak kambing itu ucapkan saat hening?”
“Apa?” Responnya.
“Demi tuhan, aku ingin hidup! Aku ingin menghabiskan waktu panjangku bersama keluarga dan teman temanku. Namun aku tau, aku tidak bisa! Bantu aku... Aku takut..”
Pria itu lalu terdiam, Ia menunduk memikirkan sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa. Namun aku yakin itu tetaplah tentang putranya Justin.
“Aku hanya ingin membuatnya bebas..”
“Sudah saatnya untuk kita melepaskan Justin, bukan karena aku tidak mencintainya tapi karena kita juga harus belajar untuk mulai menerima apa yang akan terjadi.”
Air mataku turun saat itu. Kedua tanganku dengan kuat mencengkram jas bajuku. Aku terisak penuh dengan tubuhku yang sedikit bergetar.
“Kemarilah nak, kau boleh memelukku.”
Sekejap, aku mendekat dan memeluk Jeremy. Ia mengusap punggungku pelan sambil sesekali mengecup kepalaku.
“Kumohon, berikan satu kesempatan lagi pada Justin. Biarkan dia menjalani operasi.”
Aku semakin terisak. Tidak bisa, aku tidak akan pernah bisa menerima itu! Justin tidak boleh pergi.
“Baiklah, baiklah. Segera lakukan operasi pada anakku. Aku yakin kau dan Justin akan berjuang.”
Dan paginya, bedah operasi dilakukan pada Justin.
Beberapa jam sebelum operasi, aku menyempatkan diri untuk datang keruangannya dan berbicara empat mata dengannya.
“Selamat pagi, sayang.”
Bisikku pada telinganya. Matanya terbuka perlahan lalu mencari keberadaanku. Ia tersenyum lalu mengubah posisi tidurnya menjadi berbalik kearahku.
“tebak berita baik apa yang aku bawa?”
Alisnya mengerut memancarkan kebingungan. Aku tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.