Mataku terbuka saat sesuatu menggangu tidurku. Aku mengerang kesal, karena sinar matahari membuatku tak bisa melanjutkan tidurku dengan nyaman.
Jadi, kuputuskan untuk membuka mata dan aku menyadari sesuatu setelahnya, kalau aku masih di rumah Justin.
Setelah ucapanku kasarku tadi malam, Justin pergi entah kemana dan aku tak mencarinya. Persetan dengan kakiku yang benar-benar sakit, jadi aku lebih memilih untuk kembali kekamar Justin. Tak menyangka aku malah terlelap di kamarnya dan terbangun saat pagi hari. Aku terkejut saat menyadari bahwa ia juga terlelap disampingku.
Saat itu aku mengubah posisiku menjadi terduduk dan menatapnya yang kebetulan posisi tidurnya menghadap kearahku. Seketika semua rasa takut itu kembali menggerogoti hatiku, takut akan kehilangan sosoknya meski pada kenyataannya aku belum pernah memiliki pria di hadapanku ini.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk turun dari ranjang dan mencoba menyimbangkan kakiku. Setelah itu kusempatkan untuk mencium keningnya sebentar lalu benar-benar pergi dari kamar Justin. Benar, aku mencium keningnya. Sampai sekarang aku bahkan masih mempertanyaakan keberanianku itu saat dulu.
Dengan kaki yang telanjang, aku melanjutkan langkahku keluar dari rumah Justin, namun naas di tangga ketiga halaman rumahnya aku tak mampu lagi menyeimbangkan kakiku, membuatku terjatuh dan semuanya gelap.
***
“Bukankah aku sudah memberi tahumu bahwa kau ceroboh? Apa aku harus mengatakannya lagi? Baiklah, Kau itu adalah wanita paling ceroboh yang pernah aku kenal.”
Sial! Rencana kaburku gagal. Aku tak menjawab ucapannya dan lebih memilih mengalihkan wajahku darinya.
“Lihatlah, lukamu bertambah menjadi tiga, Oh Aku ucapkan selamat ya.” Ketusnya lagi.
“Maaf.” Jelasku.
“Kenapa meminta maaf padaku? Minta maaf lah pada tuhan karena kau tidak bisa menjaga titipannya dengan baik.”
“Tuhan maafkan aku karna aku tak bisa menjaga titipanmu dengan baik.”
Justin terdiam. Lalu aku menatap Justin dan tersenyum kecil tapi akhirnya meringis.
“Keningku sakit.”
“Ya, itu karena kau yang ceroboh menuruni tangga tanpa meminta bantuan.”
“Aku kan sudah minta maaf, kenapa kau mengungkitnya lagi?”
Dulu, aku memang kesal saat mengatakan kata itu, namun sekarang, aku bersumpah itu kenangan paling manis yang aku lalui bersamanya.
“Tetaplah disini sampai kau sembuh, oke?”
Aku menggeleng.
“Aku tidak mau merepotkan siapapun Justin, dan aku harus pulang sekarang.” Tegasku lalu bangkit dari tidurku.
Saat itu entah aku yang tak nyaman atau memang ingin mencari perhatian Justin, aku berusaha untuk berdiri dengan seimbang. Masih kuingat dengan jelas betapa pusingnya aku dan betapa Justin kejam memberiku tatapan tajamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.