Dipagi yang cerah, didepan halaman keluarga Bieber, aku terduduk dideretan kursi paling depan mendengarkan pencerahan pencerahan seorang pastor dihadapan kami.
Harry terduduk disebelah kiriku, begitu pula dengan Pattie yang duduk disebelah kananku.
"Justin menginginkanmu untuk mengatakan sesuatu disana." Bisik Pattie menyentuh tanganku lembut sambil melirikkan kepalanya pada khotbah didepan kami. Aku terdiam sebentar, meremas kertas putih yang berada ditanganku lalu menatap Pattie
"Dengan senang hati." Balasku lalu membuang kertas dipeganganku kesembarang arah. Kertas itu, kertas yang kutulis sejak malam untuk kubacakan didepan semua orang yang datang untuk kekasihku. Aku bangkit dari dudukku lalu membenarkan kacamata hitam yang bertenggar diwajahku. Aku mendekat kearah khotbah lalu tersenyum kearah pastor yang tersenyum menungguku menggantikannya. Tiba dikhotbah, semua mata tertuju kearahku. Kupejamkan mataku sebentar lalu mulai mengatakan sesuatu didepan mereka.
"A-ku tau ini tak akan berhasil, tapi aku mencoba untuk mengeluarkan apa yang ada dihatiku saat ini."
"Semua itu memang berasal dari hati! Maksudku, pertemuanku dengannya, semuanya berasal dari hati. Jika saja dulu hatiku tak bergetar melihat tatapannya, pertemuan tak akan berarti apapun."
"Ini bukan seperti Romeo dan Julliet, bukan pula Johnny and Cash atau Bonnie dan Clyde. Ini semua tentang Justin dan Bella!"
"Justin bilang, cinta kami spesial, malaikat saja iri melihatnya. Itu sebabnya, dia lebih memilih pergi terlebih dahulu untuk menungguku. Justin tak pernah mengeluh akan apapun, tak pernah kecuali didepanku. Menurutnya, rasa sakit tak perlu dibagi. Karena ketahuilah, melihat seseorang yang kita cintai tersakiti, itu seribu kali lebih menyakitkan dari rasa sakit itu sendiri. Dan aku hebat! aku hebat karena aku masih bertahan saat aku sendiri tahu bahwa seseorang yang kucintai sedang melepaskan nyawanya dipelukanku sendiri! Yang artinya, aku sudah merasakan bagaimana rasanya meninggalkan jasadku sendiri. Bahkan seribu kali"
"Pria itu, pria yang terbaring dipeti suci dengan tuxedo hitam miliknya, demi tuhan! Pria itu yang paling tampan disini. Entah itu dalam hati maupun fisik. Karena tak akan cukup waktuku untuk menjelaskan semua tentang kebaikannya. Namun ada satu hal yang ingin aku katakan.."
"Bahagialah dengan apa yang kau miliki saat ini, karena yang kita miliki, tak selamanya akan selalu dimiliki. Bersyukur, sebelum kau benar benar kehilangannya."
***Our Memories***
Hari ini, delapan bulan setelah kepergiannya
"Jangan membuat onar, jangan membuat dirimu sendiri terlambat lulus, dan jangan membuatku kewalahan disini karena kau lupa jika kau masih bekerja sebagai perawat dirumah sakit ini, hingga membuatmu bebas bersenang senang diluar sana!"
Aku memutar bola mataku jengah. Selalu! Harry sikriting sialan itu mengomeliku. Aku menatap lurus kearahnya lalu berkacak pinggang
"Dengar ya! Jangan mengomeliku terus! Atau aku tak akan kembali dengan cepat." sungutku. Harry membelalakan matanya padaku
"Beraninya kau-"
Belum sempat Harry meneruskan kata katanya aku sudah berlari terlebih dahulu meninggalkannya. Tak ada yang bisa kuucapkan lagi hari ini selain syukur. Bersyukur karena tuhan masih mau membuatku tersenyum hingga sejauh ini.
Kulangkahkan kaki jenjangku meninggalkan rumahsakit menuju fakultas kedokteran yang jaraknya hanya 1 kilo meter.
Cuaca dilangit New York cukup cerah membuatku bisa berjalan dengan santai ditrotoar menuju fakultas. Sesekali, aku melebarkan senyumku saat tak sengaja melihat hal hal menarik disekitarku.
Mataku terhenti pada satu titik dimana aku tak bisa mengedipkannya lagi sekarang. Aku tiba tiba gugup, benar benar tak sanggup mendengar hasilnya
Namun, semakin lama aku berjalan, semakin aku lebih mendekat kearahnya. Tak bisa kupungkiri, aku seperti berjalan diaatas ribuan paku panas saat ini. Hingga akhirnya, aku berhenti! Berhenti dihadapan pria paruh baya dengan balutan toxedo dan sepatu jutaannya
"Nona Harnold, aku mencarimu difakultas tadi."
Aku tertunduk. Meremas kedua ujung bajuku lalu berusahan untuk mendongak kembali
"A-ku baru sampai! Kau membawa bukuku? Ah, aku tau ceritaku tak menarik! Sudah kuduga, seharusnya aku tak berusaha untuk membuatnya menjadi sebuah Novel. Maaf mengganggu waktumu Mr.Harfold aku akan-"
"Tidak menarik? Kau bahkan berbakat dalam menulis nona! Kedatanganku kemari bukan untuk mengembalikan karyamu, aku ingin memberitahumu bahwa karanganmu berhasil diterima dipenerbit kami."
Aku menganga. Menampar pipiku sendiri lalu mencubit kedua tanganku bergantian. Ini pasti mimpi! Teriakku gadis batinku sambil membentangkan poster besar yang bertuliskan tak percaya. Pria didepanku itu bahkan sampai mengernyit bingung melihat tingkahku
"Maaf tuan, tapi bisa kau cubit aku? Aku tau ini hanya mimpi! Dan aku juga tidak akan banyak bermimpi."
Mr.Harfold terkekeh. Sungguh, tak ada yang lucu saat ini
"Kau tak bermimpi nona, besok aku menunggumu dikantorku. Semoga harimu bahagia." Ucapnya terakhir lalu melenggang pergi dari hadapanku.
Hingga saat ini, aku masih terdiam ditempatku dengan melongo. Masudku, sungguh? Aku hanya menuliskan bagimana tampannya kekasihku berdasarkan sudut pandangku sendiri. Tak lebih dari itu, namun demi tuhan! Bahkan sebentar lagi akan banyak sekali orang yang mengetahuinya.
Detik itu juga, aku berbalik lalu berlari kearah rumah sakit. Mencari keberadaan Harry, lalu memeluknya dengan erat.
"Kenanganku! Penerbit itu menerima kenanganku. Kenangan kami!"
Hidupku berjalan dengan baik setelahnya, ceritaku dinovelkan, dan kuliahku benar benar mengasikkan. Soal Harry, ia sudah menjadi kepala rumah sakit sekarang, membuat hidungnya jauh lebih besar sampai menyentuh angkasa. Pattie dan Jeremy, mereka ayah dan ibuku sekarang. Aku tak tinggal diapartmentku lagi, rumahku bersama mereka, ayah dan ibuku. Madison sudah menentukan jurusan kuliahnya, dia berencana menjadi seorang penyanyi setelah sekolahnya selesai. Semua orang disisiku sudah meneruskan hidup mereka dengan baik. Namun pada diriku sendiri, hatiku masih belajar untuk hidup tanpa tuannya. Seperti belajar bagaimana caranya menanam tanaman tanpa tanah. Mustahil, namun kucoba. Karena aku tau, masih ada satu tanaman yang bisa hidup tanpa tanah.
Dan Justin, disana kau apa kabar? Aku merindukanmu.
END
***Our Memories***
Finaly! Sori banget kalo kurang ngefeel. Karena demi apapun, gua masih agak kaku kalo nulis ending😂 ini bahkan udah dihapus ketik hapus ketik selama dua hari. Tapi tetep ae gak jetot😪 thanks for reading guys, sorry for typo, tijel, jelek, dan apapun tentang cerita abal ini. Dan mungkin ini fanfic terakhir yang gua tulis, karena gua mau pindah genre keRomance and fantasi😂 doakan yang terbaik buat sang author 1k1. And.... Cant wait for new years guysss!!!! Happy new years!!!! Walo belom hahahah
Jangan lupa tunggu epilog yak❤❤
-AChen
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.