••~••"Stadium dua. Aku lelah Bella."
Seakan tersambar petir, aku berhenti memijat pelipisnya lalu dengan perlahan menatap kearahnya yang tengah menutup matanya sempurna.
"A-apa?" Balasku. Justin membuka matanya perlahan lalu membalas tatapanku.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Kenapa?"
"Apa yang akan kau lakukan jika kau berada diantara mati dan sekarat, tapi kau masih hidup?"
Tersambar petir, masuk ke jurang pula. Setidaknya itu gambaran yang bisa aku gambarkan untuk perasaanku saat itu. Perkataannya menusukku. Aku tak bisa menjawab, mulutku bungkam tanpa syarat. Hingga tak terasa, air mataku jatuh begitu saja mengenai hidungnya, dan aku benar-benar bodoh.
"Aku tahu jawabannya. Terdiam dan menangis, benar?"
"Menikmatinya." Balasku membenarkan. Sebenarnya, saat itu aku tidak bisa berpikiran jernih. Aku hanya mengucapkan apa yang ada diotakku, tidak sepenuhnya, menikmati maksudku adalah menikmati hidupnya bersamaku. Namun, sisa kata itu seakan tertahan dan kembali lagi kekerongkonganku. Aku bahkan lupa, aku masih bukan siapa siapanya.
Justin tak menjawab ucapanku dan lebih memilih memandangku yang masih saja mengeluarkan air mata. Matanya syarat akan kebingungan. Astaga, bahkan aku sendiri bingung dengan apa yang terjadi padaku.
"Menikmatinya dengan cara menjalin hubungan yang baik bersama malaikat maut?"
Aku menggeleng pelan.
"Sembuhlah untukku. Kumohon..." Lirihku. Pria itu menatapku tanpa ekspresi lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.
Hening sampai...
"Beri aku alasan kenapa aku harus sembuh demi orang asing sepertimu?"
Benar katanya, aku hanyalah orang asing. Lalu kenapa dia harus bersusah payah sembuh untukku?
"Kalau begitu, sembuhlah untuk ibumu."
Sang pemilik mata hazel itu mengangguk tanpa syarat lalu bangkit berdiri dan menatapku.
"Dan kenapa aku harus sembuh untukmu?"
"Setiap tenaga medis menginginkan kesembuhan semua pasiennya."
"Aku tak menemukan jawabanku."
"Lalu jawaban apa yang kau inginkan?"
Justin mentapku lebih lama, dan ia tersenyum.
"Aku menginginkan jawaban yang ingin aku dengar."
Ucapnya terakhir lalu melenggang pergi meninggalkanku yang masih terpaku menatap punggungnya yang semakin menjauh dari hadapanku.
"Jawabannya karena aku mencintaimu."
••~••
Dua minggu sudah setelah kejadian di halte bis tempo hari, dan aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, dan aku mulai merindukan pria bodoh itu, sialan.
Namun, ada juga yang sering aku pikirkan akhir akhir ini. 'Jawaban' maksudku, apakah pria itu akan percaya jika aku katakan... Jawabannya karena aku menyukaimu Justin, atau.... Itu semua karena aku ingin selalu melihatmu, agar aku tidak perlu menahan pahitnya rindu lagi. Aku bersumpah, itu adalah hal terakhir yang akan aku lakukan di dunia ini.
"Melamun lagi? Aku takut harus segera membawamu ke ruangan psikeater."
Suara berat itu membuatku tersadar dari lamunanku. Aku perlahan mendongak lalu menatap pria berambut sebahu bermata hijau itu ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.