7

1.7K 164 9
                                    

••~••

"Justin, maafkan aku."

Entah keberapa kali aku mengucapkan tiga kata itu, namun tak ada tanggapan apapun dari pria itu. Mulutnya benar-benar bungkam. Jangan menilainya, aku juga akan melakukan hal yang sama jika ada seseorang yang memandangku serendah itu.

Justin langsung mengantarkanku pulang setelah pertengkaran kami. Bukan hanya karena hari sudah mulai malam, tapi karena tak ada lagi yang harus kami bicarakan. Hanya saling bungkam dan terdiam. Hingga akhirnya aku lebih memilih meminta Justin untuk mengantarkanku pulang.

"Justin, kumohon." Ia masih tak berbalik dan tetap terfokus pada jalanan. Aku menghembuskan napasku panjang lalu menunduk. Aku menyerah untuk saat itu. Namun...

“Ya.” Aku buru-buru mendongak dan menatapnya tak percaya.

"A-apa?"

“Ya Bella, aku tak apa.”

Aku tersenyum.

"Aku ingin kau berjanji sesuatu." Ucapnya lagi. Aku terdiam menunggu jawaban. Mobil Justin telah berhenti dipinggir jalan. Dan matanya sepenuhnya terfokus padaku.

"Jangan menghilang dari hidupku selama tiga bulan."

Saat itu, aku tak menganggap atau menaksir apapun dalam perkataannya. Namun satu hal yang berhasil kutanyakan padanya dulu,

"Kenapa tiga bulan?"

"Aku akan pergi Bella. Aku akan melanjutkan kuliahku di Washington."

Aku kembali terdiam mencerna perkataannya.

"Ma-maksudmu kau akan pergi, lagi?"

Justin mengangguk, aku tersenyum kecut lalu menunduk sebentar dan kembali menatapnya.

"Baiklah."

"Berjanjilah."

"Aku berjanji."

Senyumannya tercipta saat itu, ia lalu kembali menjalankan mobilnya dengan normal. Hening sampai akhirnya Justin kembali bersuara,

"Bells?"

Aku hanya menggumam sebagai balasannya.

"Kukira kau melupakan sesuatu."

Aku berbalik kearahnya sambil bertanya, "Apa?"

"Dimana alamat apartementmu?"

Dan aku melongo.

"Maksudmu sejak tadi kita berkeliling kesana kemari tapi kau tak tahu dimana apartementku?" Ucapku setengah berteriak.

Justin mengangguk sekali.

"Itu salahmu tidak memberitahuku dari awal." Balasnya tanpa dosa. Dan aku mengerang kesal.

“Kau adalah pria yang menyebalkan, apa kau tahu itu?”

Tak lama tawanya meledak setelah ucapanku berakhir. Aku memberenggut kesal lalu menyalakan radio asal agar tawanya tidak terlalu terdengar di telingaku. Kala itu, seandainya aku menatapnya ketika ia tertawa lepas, aku akan merasa lebih beruntung sekarang.

"Bagaimana jika kita berjalan-jalan dulu?" Sarannya setelah tawa itu berakhir. Dan lengan Justin bergerak untuk mematikan radio yang sempat aku nyalakan itu.

“Aku tidak mendengar apapun.”

“Ayolah, maafkan aku. Bagaimana dengan karnaval?” Ujarnya mencoba membujukku. Dan itu berhasil, aku berbalik menatapnya.

“Itu hanya akan membuatku iri pada remaja-remaja yang sedang berpacaran disana.” Tolakku.

Ia terkekeh, “Bagaimana jika untuk malam ini kau anggap saja aku pacarmu?”

OUR MEMORIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang