Kau mengatakan padaku jika aku harus mencintaimu, lalu denganmu? Aku bahkan belum mendengar satu katapun yang membuatku yakin jika kau mencintaiku.
***Our Memories***
Matanya masih menatapku dengan intens. Tak kupungkiri, betapa indahnya ciptaan tuhan jika dilihat dari dekat. Perlahan, aku menunduk lalu menatap rumput hijau dibawahku.
Jika kau mendengar suara hatiku Justin, ingin sekali rasanya aku berteriak didepanmu lalu mengatakan dengan lantang bahwa aku mencintaimu. Sungguh, aku mencintaimu. Bahkan jauh sebelum kau menganggapku temanmu. Namun, masih kuingat dengan jelas ucapannya dimobil tempo lalu.
Perlahan aku kembali mendongak dan membalas tatapannya. Ia menaikan kedua alisnya menunggu jawabanku. Namun, tak sedikitpun aku membuka mulutku untuk berbicara
"Cukup katakan semua yang kau rasakan, dan kita akan merubah segalanya!" Tegasnya lagi. Cukup sudah saat itu aku berada dalam puncak dilemaku. Kembali menghembuskan nafas, aku mengerjap lalu bangkit
"Aku harus pulang."
Seketika, tatapannya berubah sendu. Ada rasa kecewa juga disana. Kuhembuskan nafasku lagi yang kesekian kalinya, ini tidak benar! Aku tidak boleh egois. Jika Justin ingin mengetahui semuanya, maka ia harus tau. Terdiam sejenak, aku kembali terduduk
"Aku.... Aku..."
"Justin, aku tak bisa!"
Sanggahku lagi mencoba membuatnya mengerti. Ia menggeleng
"Kumohon."
Aku mencintaimu
"Aku ingin pulang!"
Bangkit, berbalik, dan pergi
***Our Memories***
Setelah pulang dari rumah Justin, aku mencoba untuk merenungkan segalanya. Bagaimama caranya memaksaku, memperlakukanku layaknya kekasih, dan banyak lagi. Jujur itu membuatku janggal, bahkan sampai sekarang.
Mencoba menyingkirkan semua pemikiran itu, aku bangkit dari dudukku yang awalnya terduduk menyila disofa. Berjalan kearah kamarku lalu tidur. Besoknya aku harus kerumah sakit untuk bekerja.
Hingga paginya, aku telah menginjakkan kaki jenjangku lagi dirumah sakit. Tempat yang membuatku masih bisa bernafas dengan tenang di New York. Oh astaga, tidak ada yang tau betapa beruntungnya aku bekerja disini.
"Hai Bella!"
Ucapan Harry membuatku menghentikan ucapan batinku. Aku meniliknya sebentar lalu tersenyum
"Hai! Apa yang kau bawa?" tanyaku sambil mengarahkan tatapanku pada map biru yang sedang dipegang Harry.
Mengerti apa maksudku, ia juga mengalihkan pandangannya pada map biru itu.
"Ah, ini! Hanya berkas berkas tak penting. Kenapa memang?"
Aku menggeleng "Tak apa, aku hanya sedikit penasaran."
Harry tersenyum. "Perubahan yang bagus." Serunya lalu mengubah senyumannya dengan kekehan
"Perubahan apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES
FanfictionSaat hembusan napas terakhirnya, terdengar memilukan dan membunuh jiwaku dengan telak.