Judul: Hitungan Detik
Author: Siti Alfiyah
***
Selama itukah aku menunggu?
Ini terasa seperti saat kita menghitung detik. Dan hal tersebut tidak dapat didefinisikan secara tepat. Kau menunggu detik berlalu, dan kau sadar itu akan memakan waktu lama dan membosankan. Tapi lihat saat kau tidak memedulikan detik, hitungan waktu itu langsung melaju pergi dan menghilang bagai daun terhembus angin topan.
Saat itu dapat kudengar suara nafasmu yang pelan, bergerak dengan ritme yang senada. Seolah kau memanipulasinya untuk menjadi orkestra organ. Aku juga mendengar denyut jantungmu, yang berdetak bagai detakan jam di dinding. Juga dengan ritme yang senada. Seolah kau tidak merasakan apa pun.
Tentu, dapat kuasumsikan kalau kau sedang berpikir netral. Karena kau sedang duduk di kursi sembari menatap gerakan awan putih laksamana gumpalan permen kapas yang dapat dimakan jika kau dapat terbang ke langit. Aku tahu aku terlalu banyak berkhayal. Tapi kau tidak bisa hidup tanpa berkhayal, meskipun itu tak masuk akal.
Kaupikir aku suka dengan caramu menatap langit?
Jawabannya sudah pasti.
Tidak.
"Kembalilah ke kamar, Alvan." Kataku sambil memegang bahumu. Namun yang kau berikan hanya suasana hening. Matamu tak pernah berhenti menatap awan. Pikiranmu menerawang jauh ke depan. Jiwamu berlari bebas ke segala arah. Kau tidak memperhatikanku.
Namamu Alvan. Kau tetangga sebelahku. Kau suka alam, kau akan melakukan apa pun untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bahkan jika itu mengharuskanmu tidur dengan seekor beruang madu semalaman. Dan kau tidak banyak bicara, kecuali jika kau menginginkannya.
Tapi kau tidak pernah bicara selama lima hari belakangan. Dan aku jadi khawatir. Aku su-
ka melihatmu menutup mata saat angin berhembus melewati kulit. Aku suka melihatmu tersenyum saat mendengar suara tetesan air yang bergerak turun dari daun pohon pinus ke dalam danau. Walaupun kau mendesah pelan saat tetesan air itu bergabung dengan teman-temannya.
Kau selalu memperhatikan alam.
"Alvan, kau mendengarku?" tanyaku sambil menatapmu dari balik pundakmu. Tetapi kau bergeming, seakan aku gambaran semu yang tak nyata di duniamu. Itulah mengapa aku benci saat kau menatap langit, kau selalu mengabaikan apa pun tiap kali menatap langit. Kau pernah bilang padaku kalau langit selalu menggambarkan apa yang ada di pikiranmu dengan baik. Langit ibarat cermin yang menggambarkan kehidupan kita. Dan tuhan selalu melihat apa pun dari langit.
Seharusnya kau bersyukur. Keluargamu harmonis dan bahagia. Dan hidup mereka berkecukupan, meskipun mereka bukan orang kaya. Dan kau adalah murid terpopuler di sekolah, tak ada seorang murid pun yang mau menghinamu. Kau terlalu keren. Terlalu baik. Dan terlalu cinta akan alam. Tak heran jika wali kelas memintamu menjadi seksi kebersihan.
Aku menepuk bahumu dua kali, lalu duduk di sebelahmu. Saat ini kami berada di taman, dengan padang rumput luas dan jajaran pohon pinus di mana-mana. Dapat kuhirup aroma cemara yang semerbak. Kau patut bersyukur kalau lingkungan sekitarmu selalu asri. Kau selalu memanfaatkan apa pun yang ada dalam hidupmu.
Lain halnya denganku. Aku tinggal di gubuk tua di sebelah rumahmu. Yang ditumbuhi tanaman liar dan bocor sana-sini. Ayah dan ibu meninggal karena kebakaran. Jasad mereka hangus ditelan api. Dan aku tidak punya saudara. Aku sebatang kara, aku hanya sebuah lidi yang terpisah dari kawanannya.
YOU ARE READING
Graphicnesia Contest
Random[CLOSED] Kamu merasa punya bakat menulis? Atau punya bakat graphic? Daripada bakatmu terbuang sia-sia dan cuma disimpan di galeri atau work kamu, mendingan ikutan kontes ini aja! Memang sih hadiahnya gak bisa ngobatin kegalauan kamu tapi se...