Rey masih ada pertandingan final yang menjadikan aku harus datang kesana. Tapi aku benar-benar tidak bisa datang. Aku tidak ingin datang, karena kondisiku masih terguncang dengan kabar tadi pagi mengenai Mama yang akan melakukan operasi pagi ini
Aku iri sekali pada kedua orang tuaku. Mereka berdua dulu menjadi rebutan sampai pada akhirnya Papa bertemu dengan Mama dan mereka menikah. Satu tahun kemudian Mas Kahfi lahir. Mereka benar-benar pasangan yang kujadikan panutan. Tapi mengingat hubunganku dengan Rey lantas membuatku berpikir dua kali.
Mas Kahfi menjemputku ke sekolah, hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Claudia sempat menanyakan perihal kelakuanku yang sepertinya mencurigakan. Aku bilang padanya aku sedang tidak enak badan karena akhir-akhir ini aku belajar ekstra untuk persiapan ujian semester.
"Rey mau tanding nanti?"
"Hm..."
"Kamu gak nonton?"
Aku menggeleng, masih setia memandang pemandangan di luar jendela yang sedang padat-padatnya karena jam pulang sekolah
"Kamu ada masalah sama Rey?"
"Gak ada..."
"Terus? Belum cerita masalah Mama?"
Aku kembali menggelengkan kepalaku
"Rey baik ya, Kirana. Dia sampe minta tolong gitu sama Mas buat kasih kejutan kamu..."
"Mas, aku kangen Mama" kataku memotong ucapannya. Sungguh aku tidak ingin mendengar semua rentetan pujian untuk Rey sementara, dia saja belum membalas pesanku sampai saat ini
"Nanti kita tanya Dek Gita ya. Kamu mau makan apa?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku
"Kamu beneran ada masalah sama Rey?"
Tetap saja, aku tidak ingin membahas Rey saat ini. Tidak disaat ada masalah lain yang lebih membuatku ingin menangis
"Kenapa Dek? Mungkin Mas bisa bantu..."
Mas tolong bilang sama Kak Rani, tolong keluarganya jangan mengganggu aku lagi. Aku tidak mau mereka nanti terlalu sayang padaku ketika aku sudah tidak bersama Rey. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokkanku
"Kenapa dek? Kamu juga gak pernah berangkat sama Alex, gak sama Mario, sama Farel. Tumben... Ada Masalah sama mereka juga?"
"Kalo aku buat salah, aku tetep jadi adik Mas kan?"
"Iyalah, mau jadi adik siapa kamu? Daniel? Mas gak sudi ya" katanya lalu tertawa, "Kalo ada masalah, dibicarin Ki. Biar jelas. Jangan dipendem sendiri. Cuma nyakitin kamu aja akhirnya..."
"Buat apa dibagi kalau yang lain cuma bisa jadi pendengar..."
Mas Kahfi menghela nafas, "Seenggaknya mereka tahu apa masalah kamu"
"Terus apa? Terus mereka kasihan sama aku? Aku gak mau mas kayak gitu..."
"Ya, seenggaknya kan masalahnya gak kamu pendem terus dek. Gak baik begitu. Lama-lama bisa jadi dendam. Lagi pula kalo salah paham itu gak baik di biarin lama-lama. Gini, kamu kalo mendem masalah kamu, cuma bakal nyakitin kamu sendiri. Buat apa dipendem kalo misalnya diumbar lebih baik, bisa ngerasain sakit rame-rame toh?"
Aku nyaris saja memukul kepala Mas Kahfi ketika dia selesai mengatakan rentetan kalimat bodoh itu