Prolog

140 21 23
                                    

(poster made by @ethereal29 , thank you so much!)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(poster made by @ethereal29 , thank you so much!)

__________________________________________________________

"Christy, sini sayang." 

Sosok itu terlihat buram akibat sinar matahari yang menyilaukan. Namun, aku dapat melihat dengan jelas tangannya yang kekar dan menuntunku. Sosok tegapnya memiliki tinggi dua kali lipat dariku. Aku mengucek-ucek mata dan terus berjalan mengikutinya. Entah mengapa, tangannya terasa dingin dan berkeringat. Tentu saja, ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya.

"Christy, tetap berdiri di belakang Ayah, ya?"

Ia kini berdiri menghalangiku. Angin sekitar bertiup hebat sehingga pohon-pohon yang tadinya tegap kini berdiri sedikit miring. Sirene polisi terdengar kencang dimana-mana. Orang-orang disekelilingku berteriak histeris, "Awas, awas!"

Ayahku tidak bergeming, tubuhnya tampak gemetar. Ia melepaskan genggamannya padaku dan memelukku dari depan. Bulu kudukku jdi ikut berdiri semua.

DOR!

Ayahku kini berlutut. Ketika ia menundukkan kepalanya, aku dapat melihat seseorang berseragam kuning sedang menengadahkan pistol tepat ke dada ayahku. Ayah roboh ke tanah, aku memeluk erat badannya yang semakin dingin. Tidak, aku tidak ingin kehilangannya!

Aku menatap wajahnya yang berkeringat hebat. Ia tersenyum kecil kepadaku. Aku mengelus lembut pipinya yang berminyak sekali. Aku panik saat matanya mulai tidak fokus, dan melihat tanpa arah.

"Anak Ayah hebat dan kuat, Ayah sayang sama Christy."

Setelah mengatakan kalimat itu, kepalanya lunglai dan terjatuh. Tubuhnya terbujur kaku. Aku masih berusaha mengguncang-guncangkan badannya, namun ia tidak merespon. Jantungku seolah ingin berhenti berdetak saja. Aku sudah tidak bisa menjelaskan emosi apa yang kurasakan saat ini.

"Ayah!" Air mata pun turun satu per satu dari kedua mataku. Aku pun menutup kedua mata Ayah yang tadinya masih terbuka. Kini, ia nampak sedang tertidur pulas. Mungkinkah ia sedang memimpikan Ibu yang sudah pergi bertahun-tahun lalu mendahului dirinya?

Tanganku bergerak mengucek-ucek mataku yang kini pasti merah tidak karuan. Aku berusaha mengatur napas yang tadinya naik turun tidak teratur bagaikan ritme lagu piringan hitam yang sudah rusak. Aku membaringkan ayah di lantai, menatap orang-orang berseragam kuning itu yang masih menodongkan pistol kepadaku.

"Sudah cukup, perpisahannya?" Terdengar suara seseorang yang berat dan sinis. Kedua mataku tidak bisa melihat dirinya dengan jelas akibat air mata yang terus keluar, namun aku tahu ia adalah seorang bapak-bapak paruh baya. Ia mengelus kepalaku perlahan, dan aku langsung menepisnya. Tubuhku masih belum berhasil mengendalikan diri dan masih bergetar hebat. Ia tertawa keras. "Tenang saja, adik. Ayah kini bersama Tuhan di surga."

Aku menatapnya marah. Kedua mataku melotot dibuatnya, dan rasa marahku kini sudah sampai ke ubun-ubun. "Apa maumu?!"

"Itu urusanku, bukan urusanmu. Ayahmu tidak pernah mengingatkanmu untuk tidak mencampuri urusan orang lain?" Ia tersenyum sinis Gigi-giginya nampak rapi, namun mengerikan.

2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang