Pintu terkunci rapat, menyisakan keheningan yang mencekam. Kami duduk di lantai secara melingkar, rapat-rapat. Seolah-olah apabila kami berjarak lebih lagi akan membuat kita tidak aman. Dalam lubuk hatiku, walaupun sampai kiamat pun tak akan kusampaikan, aku ternyata membutuhkan teman-temanku.
"Ini masih siang, dan sudah banyak yang terjadi hari ini." Ujar Pak Handoko sembari mengeluarkan kertas besar berserta pulpen hitam. Aku melihat Velia yang menatap kertas tersebut sembari menggoyang-goyangkan kakinya. Wajahnya nampak resah.
"Rasanya aku sudah mulai terbiasa." Ungkapku jujur, memecah keheningan yang lagi-lagi mencekam. "Rasanya seperti makan tiga kali sehari."
"Ya, seperti minum vitamin C saja setiap harinya" Celetuk Ryan sembari sedikit tersenyum, yang berhasil sedikit mencairkan suasana tegang yang tiada hentinya. Aku melihat Pak Handoko dan Felice juga sempat menyunggingkan senyum kecil.
"Begini, Nak." Pak Handoko menggenggam pulpennya erat, dan mulai menggores di kertas putih dengan lebar sekitar satu meter dan tinggi sekitar satu setengah meter. "Kita sudah mendapatkan tabung hologram dari Petrus, dimana ini bukti kuat kita untuk membela diri."
Felice mengepalkan tangannya, geram. "Dan membuka semua kebusukan Addi kadal itu."
"Sekarang, tugas kita berikutnya adalah mempublikasikannya" Pak Handoko menggambar semua yang telah ia jelaskan dalam bentuk bagan-bagan. Untungnya, aku mudah memahami bagan yang digambarnya.
"Saya sempat menghubungi rekan saya beberapa menit yang lalu melalui pesan singkat, dan sekarang kita hanya butuh menunggu." Ujar Pak Handoko sembari menuliskan banyak titik-titik di kertas tersebut.. "Saat ini, saya minta kerja sama dari kalian untuk tenang, beristirahat, dan jangan membuat kegaduhan"
"Iya, kebetulan aku juga lapar" Ujar Velia sembari memandangi perutnya yang tidak perlu ditanya, sangat langsing.
Pak Handoko menepuk pundak Velia dan beranjak dari ruang tamu rumahnya itu ke dapur yang hanya berjarak sekitar dua meter dari situ. "Saya paham. Saya juga sudah menyiapkan ayam goreng, bakmi goreng dan masih banyak lauk lainnya. Sekarang akan saya panaskan, ditunggu ya kenikmatan ciri khas chef Handoko ini."
"Wah, terima kasih banyak!" Ryan berseru tanpa dapat menyembunyikan wajah antusiasnya. Dasar lelaki itu, selalu bersemangat apabila mendengar sesuatu terkait makanan. Tidak pernah berubah dari dulu, sekarang, dan mungkin selamanya.
"Tadaa." Pak Handoko kembali lagi ke ruang tamu dengan membawa nampan berisikan bakul nasi dan gelas-gelas berisi teh hangat."
Tanpa menunggu komando, Ryan langsung mengambil gelas dan meneguk keseluruhan teh sampai hanya tersisa tetesan terakhir. Felice sampai tertawa karena ulahnya. "Haha, dasar babi!"
Ryan menoleh ke arah Felice dengan ekspresi jahil. "Loh, memangnya kamu bukan babi?"
"Benar juga, aku lupa berkaca." Felice tersenyum dan menyenggol lengan Ryan menggunakan sikutnya. Kemudian, ia juga mengambil gelas teh dan meneguknya pula. Aku hanya bisa menatap mereka dengan sedikit dongkol dan berpindah tempat duduk ke sofa, yang berada di sudut ruangan. Lagi-lagi, aku tahu aku tidak ada hak untuk cemburu. Apalah aku, yang hanya merupakan kloningan dari temen masa kecil Ryan.
"Minum juga, Kak Christy." Velia membawakan aku gelas dan duduk disampingku. Ia duduk bersender santai dan menatap langit-langit. "Kita butuh istirahat agar tetap sehat mental."
"Betul, Vel." Aku juga meminum teh, sembari menatap Pak Handoko yang kembali lagi dengan nampan berisi tumpukan piring dan lauk-lauk lainnya. Rasanya kepalaku menjadi lebih segar menghirup aroma ayam goreng yang luar bisa nikmat itu. Aku menatap Velia yang nampak berangan-angan. "Rasanya aku hanya ingin makan saja selamanya."
![](https://img.wattpad.com/cover/93621447-288-k278320.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
2.0
AventuraKetika membuka kedua mata, aku tidak sadar kalau hari itu adalah hari pertama dari hidupku yang baru. Aku yang lama memang sudah mati. Aku ditugaskan untuk melanjutkan jejak hidupnya di dunia. Inilah kisah dan takdirku sebagai seorang manusia kloni...