"Cuit, cuit."
Rombongan burung dengan rambut bercorak hitam putih menyambut mobilku yang akhirnya sampai juga di Jalan Merpati 13, Bandung. Aku merasakan angin semilir di sekitarku. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi juga mengelilingi rumah kecil tersebut. Rumah tersebut di dominasi oleh warna putih. Hal yang mencolok dari rumah tersebut adalah rumput liar yang tumbuh dimana-mana. Aku cukup heran ada seseorang yang betah tinggal di dalam tempat seperti itu.
Sebetulnya, wajar sih. Rumah ini memang terletak di daerah perhutanan.
"Ya ampun." Velia yang sedari tadi diam mulai mengutarakan pendapatnya. Aku sudah menceritakan semua kejadian yang aku dan Ryan alami pada gadis manis ini. Walaupun usianya masih muda, Velia sudah dapat mengerti dan berempati. Kini, wajahnya nampak risih dengan semut-semut di dekat tempatnya berdiri. Aku, Ryan, dan Velia melangkahi semak-semak yang tumbuh lebat dimana-mana. "Ternyata ada yang lebih jorok dari Kak Ryan."
"Dasar adik durhaka." Ujar Ryan sembari tersenyum kecil. Berdasarkan ingatan Christy Laurensia, aku tahu bahwa selama ini Ryan dan Velia memang sudah terbiasa ketus dan menjahili satu sama lain. Sudah tidak ada lagi tuh yang namanya tersinggung atau sakit hati. Mereka sudah saling kebal satu sama lain.
Christy tidak mempunyai saudara kandung, sehingga aku tidak pernah tahu rasanya memiliki kakak maupun adik. Secara lebih spesifik, aku tidak tahu rasanya memiliki seseorang yang bikin kesal namun sangat kubutuhkan. Hati kecilku berkata bahwa aku iri dengan hubungan kakak-adik Ryan dan Velia.
"Hehe, terserah Kak Ryan saja." Ujar Velia sembari menjulurkan lidahnya. Anak ini walaupun biasanya pendiam namun sebetulnya ekspresif juga. Ryan menghampiri Velia dan mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. Tentu saja tindakan Ryan tersebut membuat Velia makin mendumel.
"Ugh, Kak Ryan ini memang menyebalkan." Velia kini ikut membalas mengacak-acak rambut Ryan yang notabene jauh lebih tinggi dari dirinya yang mungil. Alhasil, pemandangan Velia yang menjinjit dengan penuh perjuangan menggelitik perasaanku. "Haha."
Ups, kini aku merasa jahat menertawakan orang lain. Untung saja suaraku tidak terlalu keluar, sehingga sepertinya Ryan dan Velia tidak mendengarnya. Tanpa banyak bicara lagi, kami bertiga lanjut berjalan melewati rintangan semak -semak dan rumput liar yang tingginya minta ampun. Ini pun baru perjalanan menuju pintu masuk. Aku sedikit kasihan melihat tubuh mungil Velia yang berusaha menerobos rerumputan tersebut.
Rasa mual menghantui diriku saat aku membayangkan akan sekotor apa bagian dalam dari rumah ini. Jangan-jangan tidak pernah disapu ataupun di pel. Jantungku berdebar lebih cepat saat membayangkan debu dan sarang laba-laba yang akan kutemui nanti.
Tok tok tok.
Ryan mengetuk kencang pintu kayu yang ada dihadapan kami, bunyinya sampai bergema di telingaku. Ternyata, suaranya mantap sekali. Kemudian, Ryan meniup tangannya yang menjadi berdebu akibat ketukan tadi.
"Ternyata memang kotor sekali." Ujar Ryan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau ada lomba siapa yang paling kotor, penghuni rumah ini lah satu-satunya kandidat yang berhasil mengalahkanku."
"Hai." Pintu kayu tiba-tiba terbuka ke dalam dan kini ada seorang sosok bapak berjanggut di hadapan kami. Beliau sudah bertubuh agak bungkuk. Aduh, ternyata secara tidak sadar aku malah mengomentarinya. Ryan yang tadi sedang membicarakannya pun salah tingkah. Pastilah bapak ini tadi mendengar celetukan-celetukannya. Wajah Ryan kini merah bagaikan kepiting rebus.
"Hahaha, santai saja." Bapak tersebut tertawa ramah sembari menepuk pundak Ryan yang masih terdiam dan tidak berani melanjutkan pembicaraan. "Tidak apa-apa kok, aku tidak akan menggigit."
![](https://img.wattpad.com/cover/93621447-288-k278320.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
2.0
AventuraKetika membuka kedua mata, aku tidak sadar kalau hari itu adalah hari pertama dari hidupku yang baru. Aku yang lama memang sudah mati. Aku ditugaskan untuk melanjutkan jejak hidupnya di dunia. Inilah kisah dan takdirku sebagai seorang manusia kloni...