BAB 18- Hidup

8 1 0
                                    

Sorotan kamera yang silau membuatku tidak bisa melihat dengan jelas. Hari ini, aku menggunakan baju berbahan satin dan celana bahan yang lebih rapih dari biasanya. Demikian pula halnya dengan Pak Handoko, Ryan dan Velia. Pak Handoko dan Ryan mengenakan kemeja putih dan jas hitam, sementara Velia memakai gaun selutut berwarna perak halus. Sejujurnya, aku terkagum melihat Ryan yang serapih itu. Dalam ingatanku, saat terakhir Ryan mengenakan baju rapih adalah saat pesta ulang tahun Christy 1.0 yang ke 16, beberapa bulan sebelum ia meninggal dan bertransformasi menjadi diriku. Masih memiliki ingatan dari Christy 1.0 dengan jelas memang menyiksa, karena aku seolah-olah tidak dapat lepas darinya. 

"Christy.." Ryan pun memanggil seiring kami berjalan di jalanan yang diberikan karpet merah ini. Aku menoleh kepadanya, walau mataku masih belum dapat terbiasa untuk melihat diantara jepretan sinar kamera yang bertubi-tubi. Ryan menampakkan senyum yang sangat indah, kemudian berbisik lirih. "Kamu cantik."

Wajahku langsung terasa panas seketika. Mudah-mudahan rona dapat ditutupi oleh bedak yang telah kuoleskan tadi pagi. Siang hari ini gedung konferensi sangat ramai. Banyak wartawan dari berbagai stasiun TV, yang siap siaga dan memantau dari pagi hingga sekarang. Nampaknya, antusiasme masyarakat untuk mendengarkan kesaksian kami sangat besar. Aku juga tidak terlalu menyangka bahwa akan seheboh ini.

Velia juga terlihat kesulitan untuk melihat diantara cahaya-cahaya menyilaukan ini, karena gadis tersebut juga terus memicingkan matanya. Aku hampir menertawakannya karena ia terlihat sangat lucu.

"Kenapa, Kak?" Velia yang sepertinya tersadar menatapku dengan polos. Aku pun berusaha mengatur nafas, kemudian memandang ke depan lagi. "Tidak apa-apa, Vel. Kamu cocok dengan gaun itu."

"Terima kasih." Velia pun tersenyum girang dan menaikkan bahunya. Ia pun berjalan, dan aku langsung merasakan kepercayaan dirinya yang melesat meningkat. Dasar perempuan.

"Kita berhasil, Nak." Ucap Pak Handoko yang berjalan di belakang kami bertiga. Ia pun menepuk pundak kami satu per satu sembari berjalan, dan wajahnya memancarkan kebangaan yang tiada tara. Entah mengapa, aku mampu merasakannya. Aku mengerti, aku punya hati.

"Halo!" Seorang sosok laki-laki tinggi menghampiri kami. Ia pun langsung berjabat tangan dengan Pak Handoko, kemudian menatap satu per satu. "Saya sudah lama tidak melihat kalian, dan saat ini saya senang kalian tidak apa-apa.."

"Yah, Felice tidak seberuntung kami.." Ujar Pak Handoko, dengan sedikit tertunduk. Aku merasa bahwa ia berusaha begitu kuat akhir-akhir ini, dan aku bahkan tidak pernah melihatnya menangis atau sedih. Namun, aku tahu ia menahan dan mengunci semua perasaan tersebut jauh dalam hatinya, digembok dengan erat.  "Apa kabar, Pak Amrin?

"Iya, saya tahu... Namun, sedari saya bekerja sama dengannya dulu saat ia menjadi pegawai pemerintahan, saya tahu bahwa gadis itu memang tipe yang berani dan mau mengorbankan apapun yang sesuai dengan idealismenya." Pak Amrin yang mengenakan jas abu-abu mengangguk, dan mengelus lembut punggung Pak Handoko. "Percayalah, ia lebih baik seperti itu daripada diam dan meratapinya seumur hidup."

"Aku pun merasa demikian." Ryan ikut berkomentar, membuang muka dan berusaha menutupi matanya yang kembali sedikit berkaca-kaca. Ia menghela nafas dan berjalan maju. Velia pun merangkul kakaknya itu, kemudian menggandeng tangannya untuk terus maju. "Yuk, Kak."

Kami pun sampai dalam sebuah ruangan yang terletak di lantai dua gedung mewah tersebut. Wartawan yang terus berusaha mengerumuni kami dihalangi oleh satuan pengamanan yang membukakan kami jalan. Pak Handoko terus menerus dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan, seperti 'bisa Anda ceritakan kronologi yang terjadi', 'bagaimana perasaan Anda tentang Presiden Addi', 'apa yang menjadi penyebab Presiden Addi melakukan hal-hal itu'... Pak Handoko hanya tersenyum kecil tanpa memberika jawab apapun. Pak Amrin juga membantu dan memberi tangan pada para wartawan tersebut, ia menunduk dan tersenyum memohon pengertian. "Ditunggu ya, Bapak-Ibu."

2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang