Tes, tes..
Telingaku mendengar tetesan air di kejauhan, sembari aku mulai mengembalikan kesadaranku.
"Argh."
Rasanya seluruh badanku saat ini sakit sekali, ototku kaku semuanya. Kurasakan sensasi nyeri yang menjalar dikulit. Mataku masih tertutup rapat, rasanya sangat berdenyut.
Aku juga merasakan udara dingin semilir yang membuatku merasa ngeri. Tanganku berusaha bergeliat kesana kemari, namun setelah itu aku baru menyadari kalau seluruh tubuhku diikat dengan tali bertekstur kasar. Walaupun sakit, aku tetap berusaha membuka mata.
Sedikit demi sedikit, aku mulai bisa mengontrolnya. Sinar menyilaukan kulihat saat mataku terbuka perlahan. "Uh."
Sebuah suara familiar menyapaku, "Selamat datang kembali, Nona."
Apakah aku masih bermimpi, ataukah pendengaranku yang bermasalah?
"Kamu tidak salah dengar, kok." Orang itu seolah memahami apa yang aku pikirkan, kemudian sosok tingginya menghampiriku. dengan jari berkuku tajamnya, ia menyentuh daguku dan membuatku mendongak menatapnya.
"Kangen aku?" Manusia yang masih memakai topeng itu terdengar tertawa kecil. Ia pun melepaskan topeng dari wajahnya, menggunakan tangannya yang satu lagi. Mimpi burukku hadir kembali dihadapanku. Ia menampakkan gigi putihnya padaku. "Maaf, AC-nya sedikit bocor jadi menetes di sudut sebelah sana"
"Presiden Addi?!" Aku sedikit menjerit, membuat teman-teman yang masih belum tersadar pun ikut terbangun kaget. Badanku sedikit tertarik akibat Pak Handoko, Ryan, Felice, dan Velia yang bergerak, karena badan kami semua diikat menjadi satu. Bergerak pun akan menyakiti yang lain.
Ia tertawa kencang. "Seratus untukmu!"
"Sedang apa kau?!" Felice terperangah dan menjerit histeris. Aku melihat bahwa air mata langsung mengalir deras di wajahnya. Sakit hatinya yang teramat sangat telah tak tertahankan lagi.
Presiden Addi pun bersiul, sembari berjalan mundar-mandir di hadapan kami. "Sedang bertemu kangen dengan kalian."
"Kau.." Pak Handoko menggeram kesal, aku merasakan badannya yang menjadi sangat tegang.
Presiden Addi yang memakai baju tebal bertangan panjang dan celana berwarna hitam itu kemudian berjalan santai dan berjongkok sehingga pandangan matanya sejajar dengan Pak Handoko. "Hai Handoko, kita pun sudah lama tidak bertemu, bukan? Bagaimana progres pengkhianatanmu?"
Pak Handoko pun hendak melompat, dan kemudian ia juga menyadari kondisi badannya yang terikat." Tolonglah berkaca, tanganmu begitu bengis!"
"Sssssh" Presiden Addi menaruh jari telunjuknya perlahan di depan bibir Pak Handoko. "Otakmu yang terlalu pintar itu sayang kalau digunakan untuk marah-marah. Lebih baik digunakan untuk merencanakan pemberontakan dibandingkan membantuku melaksanakan proyek ini, betul bukan?"
"Enyah kau!" Felice menjerit kembali dengan sedikit meronta-ronta. Ryan yang diikat dibelakang Felice berusaha menyentuh tangannya untuk menenangkan. Sementara, aku hanya melihat semuanya itu dengan sedikit desir menyakitkan dalam hati. Mengapa Ryan tidak melakukan hal yang sama pada aku yang diikat disampingnya?
"Memang aku sudah enyah, Presiden Addi sudah mati, bukan?" Presiden Addi pun menjulurkan lidahnya seperti anak kecil pada mereka. "Presiden Addi sudah mati sejak dahulu kala, mungkin semenjak masih janin."
Pak Handoko bertanya sembari mengecilkan volum suaranya. "Tolonglah, apa yang menyebabkan hatimu sebengis itu? Anda memiliki semua yang Anda inginkan! Apa yang Anda cari lagi?"
Presiden Addi terdiam sejenak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pak Handoko, ia merengut. "Hmm.. Apa, ya? Mungkin definisi apa yang aku mau dan apa yang kamu mau itu berbeda."

KAMU SEDANG MEMBACA
2.0
AdventureKetika membuka kedua mata, aku tidak sadar kalau hari itu adalah hari pertama dari hidupku yang baru. Aku yang lama memang sudah mati. Aku ditugaskan untuk melanjutkan jejak hidupnya di dunia. Inilah kisah dan takdirku sebagai seorang manusia kloni...