"Kita harus mencari data dalam flashdisk tersebut." Kata Felice sembari menyalakan mesin mobilnya. Nampaknya ia sudah melupakan kekesalannya pada Ryan tadi pagi. Aku, Ryan dan Velia satu per satu memasuki mobil ber-body besar miliknya. Entah mengapa, Ryan mengambil posisi kursi di samping tempat pengemudi.
Sejujurnya, aku sedikit cemburu.
Kami pun mulai berjalan ke arah jalanan yang lebih besar. Sebetulnya, aku sama sekali tidak tahu kita akan kemana. Felice belum menginformasikannya destinasi kami sama sekali. Menurutku, sebaiknya ada yang menanyakan perihal ini kepadanya. Mungkin aku bisa memulai percakapan ini. "Fel, kita akan kemana?"
"Ya, menurutmu kita akan kemana?" Tanyanya dengan intonasi menyebalkan. Dasar anak ini. Walaupun Felice memang lebih tua dari aku dan Ryan, aku sangat tidak suka diperlakukan demikian. "Dipikirkan saja sendiri, ya."
Aku enggan membalasnya. Ini yang gila aku atau dia, sih.
"Maksud Kak Christy, kami juga harus tahu tujuan kita sekarang. Biar adil." Ujar Velia menimbrungi percakapan kami. Duh, cinta sekali deh sama Velia. Gadis ini membelaku.
Felice terdiam. Ia cuek bebek terhadap kami. Lama-lama, aku kesal juga diperlakukan seperti ini terus. Ryan menoleh dari kursi didepan dan menatapku untuk beberapa saat. Sorotan mata yang biasanya sanggup membuatku meleleh itu sulit diartikan saat ini. Akhirnya, Ryan pun ikut mengungkapkan pendapatnya. "Fel, kamu tidak sedang menjebak kami?"
Hening sejenak.
"Seenaknya saja kau menuduhku!" Ujar Felice kesal. Aku dapat mendengarnya mendengus. Manusia satu itu memang cukup aneh. Dia sendiri yang membuat masalah, dan sekarang malah dia yang bersikap jutek.
Ryan menatap tajam pada Felice yang sedang mengemudi di sebelahnya. "Kalau begitu, kami juga berhak tahu kemana kau akan membawa kami. Kami menemanimu demi flashdisk yang kau rencanakan itu. Kami tahu tujuannya."
"Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik." Ujar Felice sembari tetap menatap pada jalanan di depannya. "Begini, aku sedang membawa kalian kepada kerabat Handoko dan Petrus."
Petrus.
Nama tersebut membuat jantungku seolah-olah ingin melompat keluar. Sejuta kenangan bangkit lagi dalam benakku. Semua hal indah, sekaligus juga hal-hal yang sangat menyakitkan. Pikiranku tertuju pada adegan penembakan yang laknat itu. Entahlah, aku tidak tahu aku sedih atau tidak. Satu hal yang aku tahu pasti adalah bahwa hatiku rindu pada dirinya. Ya, Petrus adalah nama ayahku.
"Mengapa Kak Felice tidak mengatakannya sedari tadi." Ujar Velia yang untungnya memecahkan lamunanku. Aku sering sekali bengong akhir-akhir ini. Sepertinya, Christy yang dulu juga sering melamun seperti ini. "Padahal, Kakak tinggal menjelaskannya saja tadi. Kami juga tidak akan meributkan perihal tersebut".
"Bawel." Felice membelokkan setir mobilnya dan kami memasuki sebuah kompleks perumahan. Berhubung kemampuan visual spasialku cukup payah, aku tidak tahu kami sedang berada dimana dan sudah sejauh mana kami beranjak dari rumah Felice.
"Kapan sih kau akan mengubah sifat judes dan moody-mu itu?" Ucap Ryan mulai ketus. Ia terlihat sedang menerawang lewat jendela mobil samping. Ryan dan Felice sama sekali tidak bertatapan satu sama lain. Aku dapat melihat Felice memutarkan bola matanya. Lagi-lagi, gadis tersebut mendengus. "Seharusnya aku yang bertanya kapan kalian akan diam dan menghentikan ocehan-ocehan berisik tersebut."
Sekarang aku sadar bahwa banyak manusia-manusia tidak normal di dunia ini. Tunggu, aku pun langsung menyadari bahwa aku tidak boleh menghakimi orang lain seperti ini. Felice pernah mengalami hal yang menyakitkan. Seharusnya, aku dan dia saling memahami saja walaupun terkadang sulit sekali. Memakai topeng pencitraan itu perlu usaha yang tidak main-main. Sungguh melelahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
2.0
PertualanganKetika membuka kedua mata, aku tidak sadar kalau hari itu adalah hari pertama dari hidupku yang baru. Aku yang lama memang sudah mati. Aku ditugaskan untuk melanjutkan jejak hidupnya di dunia. Inilah kisah dan takdirku sebagai seorang manusia kloni...