"Christy..."
Aku tidak bisa merasakan kakiku. Daya gravitasi di sekitarku seolah-olah menghilang tanpa jejak. Tubuhku terasa melayang.
Pemandangan disekitarku hanyalah hitam dan kegelapan. Hatiku sepertinya sudah mati rasa, karena aku tidak lagi merasakan emosi apapun. Sedih? Tidak. Marah? Mungkin lebih ke perasaan kosong dan hampa.
"Ty..."
Sekilas aku mulai bisa menggerakan bola mataku. Aku tidak bohong kalau mengatakan bahwa badanku terasa lunglai sekali. Oke, kini aku mulai bisa menggerakan tanganku.
"Ugh." Rintihku sembari mengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Aku merintih saat mataku belum terbiasa dengan cahaya di tempatku berada saat ini. Silau.
"K-kamu tidak apa-apa, Ty?" Sebuah suara yang lembut dan juga berat terdengar di sistem pendengaranku. Ternyata, suara inilah yang mengembalikanku dari alam ketidaksadaran. Aku masih berusaha menyatukan jiwaku. Sepertinya suara tersebut familiar, rasanya akrab sekali denganku. Mataku mengerjap-ngerjap sembari aku berusaha memproses informasi yang baru saja ku terima.
Byur!
Tiba-tiba saja aku disirami air dingin. Aku nyaris menjerit. Tubuhku langsung melonjak kencang dan panik. Hatiku berdebar tidak karuan akibat kejadian ini.
"Hei, apa yang kamu lakukan?" Suara berat tadi berucap dengan nada sedikit tinggi. Oke, aku sudah dapat mengenali bahwa suara tersebut adalah suara Ryan.
"Jangan manja dan sedikit-sedikit mengeluh, aku hanya mencoba menolong kalian!" Seorang wanita dengan suara cukup berat berkata cuek. Ia menaruh ember tersebut ke lantai, kemudian langsung memberikanku sebuah jaket kuning ia kenakan. Aku menganggap bahwa benda tersebut adalah hadiah penawaran perdamaian darinya.Perempuan ini sedang berusaha menghangatkanku.
Aku mengamatinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Rambut hitam lurusnya panjang sekali hingga hampir menutupi punggung seutuhnya. Duh, aku juga ingin memiliki rambut lurus indah seperti itu. Selain itu, badannya langsing dan tubuhnya tinggi. Istilah singkatnya, proporsional. Lagi-lagi, sedikit rasa iri terbesit dalam perasaanku. Matanya tajam seperti kucing. Kulitnya putih bersih. Perempuan ini cantik.
Ada satu hal yang mengganjal dari dirinya. Di balik sosok manisnya, ia mengenakan seragam kuning khas pekerja bawahan Presiden Addi.
"Ada apa? Kamu bingung melihatku?" Ia bertanya sengit setelah aku selesai melamun. Kebiasaan ini memang cukup bikin malu. Dahi perempuan yang terlihat masih muda tersebut mengernyit. Aku jadi salah tingkah. "E-eh.. Maaf, aku tidak bermaksud demikian."
"Jangan terlalu ramah sama dia, Ty!" ucap Ryan dengan sengit. Ia pun kemudian menatap tajam perempuan cantik tersebut seolah-olah ia sudah mengibarkan bendera perang. Aku bisa melihat bahwa ia tidak terlalu menyukai perempuan ini. Velia yang duduk di sebelah Ryan sedari tadi diam saja.
"Dasar mahluk-mahluk tidak tahu berterima kasih." Si cantik tersebut menarik napas panjang seolah-olah ia sudah lelah dengan kami. Ngomong-ngomong, sejujurnya aku masih belum paham apa yang terjadi. Seingatku tadi kami bertiga tertangkap basah sedang menyelinap. Salah kami juga sih, kami memang tidak mempersiapkan diri dengan baik.
"Langsung saja, deh. Apa yang kau inginkan dari kami?" Ryan bertanya dengan urat yang terlihat dari kepalanya. Aku pernah bilang kan bahwa pria ini memang ekspresif?
"Begini, teman-temanku tercinta." Perempuan tersebut akhirnya ikut duduk di lantai dan menyejajarkan pandangannya dengan kami. Ia terdengar sarkastik.
"Aku punya nama." Ia memberi kode kepada kami melalui gerakan tangan untuk duduk membentuk lingkaran kecil. "Felicia Kejora. Panggil saja aku Felice."

KAMU SEDANG MEMBACA
2.0
AventuraKetika membuka kedua mata, aku tidak sadar kalau hari itu adalah hari pertama dari hidupku yang baru. Aku yang lama memang sudah mati. Aku ditugaskan untuk melanjutkan jejak hidupnya di dunia. Inilah kisah dan takdirku sebagai seorang manusia kloni...