BAB 12- Trauma

22 1 0
                                    

Cuaca cerah di depan ruangan ini tidak membuat suasana hati kami menjadi cerah. Aku menatap Presiden Addi yang belum sadarkan diri. Beliau kini diikat dengan tali tambang yang sangat tebal dan kasar. Posisinya kini duduk dan diikatkan ke sebuah kotak besi. Kata Felice, ia melakukan hal itu agar Presiden Addi tidak bisa melarikan diri kemanapun. Felice menggerang marah. "Kemanapun ia melarikan diri, ia akan tetap saja berhadapan denganku."

Jujur, Felice yang seperti ini membuatku merasa takut dan sedikit tidak nyaman. Ia betul-betul seperti orang yang berbeda. Felice yang kukenal memang judes dan nekad, namun ia tidak mengerikan seperti Felice yang saat ini sedang berkacak pinggang di depan Presiden Addi. Sosok ini... sebetulnya siapa?

"Sebaiknya kita apakan ya, orang ini." Felice berkata sembari menyeringai seperti seorang psikopat. Ryan menatap Felice sembari mengernyit, kemudian berkata pelan kepadanya. "Apakah kamu tidak mengingat kata-kataku tadi, Fel? Kau harus mengontrol emosimu."

"Apakah kalian tidak paham? Keluarga kalian juga dibunuh oleh mahluk ini!" Felice tiba-tiba berujar dengan bernada tinggi dan sengit. Ryan hendak membalasnya, namun aku menepuk pundaknya pelan. Tidak baik untuk bertengkar pada saat-saat seperti ini. Suasana sudah cukup panas dan tidak perlu dikomporkan lagi.

"Kami semua mengerti perasaanmu, Fel." Aku mencoba menenangkannya dengan lembut. Felice masih terlihat kesal. "Namun Ryan juga benar, kau tidak boleh kalah oleh perasaan."

"Kau tahu apa tentang diriku?!" Lagi-lagi Felice menyentak, kali ini cukup keras sehingga membuatku merasa kesal. Dirinya sudah merebut Ryan dariku, sudah kupercayai, sudah kubantu, namun ia malah menyentakku? Rasanya aku sudah naik darah hingga ke ubun-ubun.

Tunggu, aku tidak boleh berpikiran jahat seperti itu. Apakah Ayah akan senang apabila anaknya yang dihidupkan kembali kini mulai sombong dan marah-marah terhadap orang lain? Sudahlah, aku harus sabar. Agresi yang dibalas dengan agresi tidak akan pernah berakhir baik.

Felice kembali terdiam dan berkacak pinggang di depan Presiden Addi yang badannya mulai menggeliat. Kemudian, Felice pun memastikan bahwa ikat tambang yang melilit tidak akan membiarkan tubuh tidak terlalu tinggi Presiden Addi untuk lepas. Sepenglihatanku, Felice tadi mengikatnya dengan sepenuh tenaga.

"Ergh.." Presiden Addi mengerang pelan sembari membuka mata perlahan-lahan. Kami siap siaga dan mengelilinginya. Felice mengeluarkan pistol dan menodong kepalanya. Astaga, Felice! Tidak kusangka dia bisa bertindak seekstrim itu!

"Saya akan langsung menuju inti pembicaraan, berengsek." Ujar Felice sembari tetap menempelkan pistol pada dahi Presiden Addi yang menatap balik Felice seolah beliau ingin menantangnya.

"Silahkan saja, cantik." Ujar Presiden Addi sembari tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang rusak. Senyum yang beliau sunggingkan sungguh kejam dan dingin. "Jadi kalianlah yang menyebarkan hal itu diberita."

Felice pun mengambil peluru dan menambah amunisi dari pistolnya yang entah ia dapatkan darimana, aku baru pertama kali melihatnya. "Ya, kami muak denganmu."

"Hebat, hebat, salut. Tahukah kalian bahwa setiap tindakan yang kalian lakukan akan memiliki bayarannya tersendiri." Bisik Presiden Addi sembari berusaha menggeliat ke kiri dan ke kanan. Tidak berhasil karena Felice sudah mengikatnya secara mati.

"A-apa maksudmu?" Velia pun akhirnya bersuara, walaupun lirih. Dirinya sudah tidak terlihat setakut tadi.

"Hehehe!" Presiden Addi terkekeh kencang, membuat Felice semakin menyudutkan wajahnya dengan pistol. Gadis itu terlihat sangat geram dan gemas. "Lihat saja nanti."

"Sekarang kutanya Anda dengan jelas, bodoh. Mengapa Anda membunuh?!" Felice menyentak, jauh lebih keras daripada saat ia menyentakku sebelumnya. Felice terlihat beringas.

2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang