BAB 5- Tidak Tahu

65 7 2
                                    

Sore itu, kami bertiga duduk  dalam sebuah kafe yang cukup terkenal untuk anak muda. Maksudku dari kami bertiga adalah diriku, Ryan dan Velia. Kami sudah meninggalkan rumah Pak Handoko beberapa jam yang lalu. Berhubung tempatnya memang agak terpencil, kami membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sampai ke daerah perkotaan Bandung. 

"Apakah keputusan kita untuk berdiskusi disini tidak salah?" Tanya Velia sembari melepaskan kunciran rambutnya. Ryan tidak menjawab dan malah asyik melihat buku menu yang menarik perhatian dengan warna-warna mencoloknya. Ia pun akhirnya menoleh ke arah Velia dan menanggapinya. "Kita kan hanya singgah sebentar, pastilah tidak akan apa-apa."

Aku termenung sembari melihat dinding-dinding kafe mungil yang didominasi warna jingga tersebut. Rasanya aku sudah cukup lelah dan ingin menyerah saja. Aku menarik napas panjang. Aku betul-betul berharap perasaanku bisa membaik setelah semua yang terjadi akhir-akhir ini. 

"Kamu tidak apa-apa, Ty?" Rupanya Ryan menyadari raut mukaku yang berubah. Anak ini memang peka dan perhatian. Mata tulusnya menatapku dan aku bisa merasakan perasaannya yang memasuki relung-relung hatiku. 

Deg. Lagi-lagi, perasaan aneh ini muncul. 

"E-eh.. tidak apa-apa." Aku salah tingkah. Kacau nih, wajahku langsung panas dan aku bisa merasakan telinga yang memerah. Aku berusaha menahan bibirku untuk membentuk sebuah lengkungan ke atas, namun gagal total. Pasti saat ini aku nampak seperti orang aneh yang sedang menahan senyum. Mengapa aku diciptakan dengan emosi seperti ini?

Ryan mendekatkan posisi duduknya padaku di bagian sofa kafe tersebut. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Sungguh, aku merasa tenang namun sekaligus tegang. Sejujurnya, aku menginginkan hubungan yang lebih dalam lagi dengan Ryan. Orang itu malah semakin mendekatkan posisi tubuhnya denganku. "Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu."

"Kak Christy jangan khawatir, ya." Ujar Velia yang kini berganti giliran dengan Ryan untuk melihat-lihat buku menu. Ia membolak-balikkan buku tebal tersebut secara ganas dan penuh semangat. "Kalau ada apa-apa ceritakan saja pada kami."

"Aku hanya sedikit lelah dan cemas." Ungkapku akhirnya. "Mungkin juga aku sedang krisis eksistensi." Mereka berdua ini baik sekali, sih. Aku jadi terharu dibuatnya.

"Duileh, bahasanya." Ryan melepaskan kepalanya dari bahuku dan menatapku lembut. Ia menggenggam lembut tanganku. "Pasti karena Om Theo, ya?"

Lagi-lagi jantungku berdebar keras. Apakah Christy 1.0 selalu merasakan hal yang sama denganku setiap kali ia berinteraksi dengan Ryan? Jika ia, betapa sehatnya jantung yang terus memompa dengan semangat itu. Aku berusaha mengontrol wajahku yang pastinya sudah merona. "E-eh.. ya, begitulah."

"Aku juga bingung, Kak." Ujar Velia sembari mengangkat tangannya dan memanggil seorang pramusaji di kafe tersebut. Ngomong-ngomong, para pekerja disitu juga memakai seragam kerja yang warnanya bervariasi. Menurutku, itu unik dan kreatif sekali. Velia pun segera memberikan daftar pesanan yang telah diisinya kepada pramusaji pria yang menghampirinya. Ia mengangguk dan kembali meninggalkan meja untuk memproses hidangan kami.

Christy menerawang ke dinding di belakangnya dan memangku dagunya. "Mengapa hidup ini begini ya, Kak."

Aku masih bingung mengapa aku diciptakan untuk mengganti Christy 1.0. Aku yakin sekali bahwa tidak akan ada seorang pun yang bisa memahami perasaanku. Yah, kecuali orang-orang buatan yang telah diciptakan Om Theo dan Pak Handoko. Mungkin merekalah yang bisa memahami diriku. 

Kini, aku seolah tersesat dalam sebuah labirin tua yang tidak berujung. Aku hidup untuk balas dendam, dan aku tidak tahu lagi apa makna dari semua ini. Sungguh, aku lelah.

"Kak Christy tenang saja, ya." Velia memecahkan lamunanku dengan sedikit mengencangkan suaranya. Aku merasa bahwa anak ini sudah jauh lebih dewasa dariku. Kalau dalam ilmu psikologi, pastilah mental age miliknya sudah sangat tinggi. Aku sedikit malu. 

2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang