BAB 3 - Marah

78 15 6
                                    

Angin sepoi-sepoi menyambut deru mobil kami yang berhenti perlahan. Ryan mengusap keringat menggunakan kemeja lengan panjang berwarma abu-abunya. Ia nampak kelelahan setelah mengemudi dengan kecepatan di atas batas wajar. Aku sempat ketakutan juga tadi. Sepanjang perjalanan satu setengah jam dari tempat peristirahatan tadi, tak semenitpun aku rela melepaskan genggamanku pada sabuk pengaman.

Sungguh, aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi apabila mobil Ryan memabrak sesuatu atau seseorang. Bisa-bisa aku mati untuk yang kedua kalinya. Bisa-bisa pula nanti akan ada Christy 3.0. Sebetulnya, aku memiliki ingatan yang menyenangkan tentang rumah Ryan. Rumah minimalis namun nyamannya ini terletal di kompleks perumahan sebelah kompleksku. Biasanya, mendiang Christy 1.0. selalu bahagia setiap berkunjung ke rumah Ryan. Namun, kali ini tidak ada sukacita sama sekali di antara kami. Malah, aku yakin bahwa wajah kami berdua sudah berkerut. Persis nenek dan kakek tua yang sedang menggerutu karena menu sarapan yang tidak bisa dikunyah.

"Perasaanku sangat tidak enak, Ty." Ujar Ryan melihat sekeliling yang sepi. Ia mengunci stang mobilnya kemudia. keluar. "Aku betul-betul khawatir, Ty.."

"Jangan berpikir yang buruk-buruk, Ry." Aku menenangkannya dengan menggenggam salah satu tangannya. Genggamanku kini terasa basah dan berkeringat. Tubuh Ryan pasti sedang bereaksi atas stres yang sedang ia hadapi.

"Bagaimana jika kita terlambat.. Bagaimana jika aku terlambat?!" Ryan menggigit bibir bawahnya. Ia nampak cemas sekali.

Aku pun langsung melepas sabuk pengamanku. Kusembunyikan semua ketakutan dan kecemasanku demi Ryan. Ia sedang membutuhkan kawan untuk membimbing dan menyemangatinya. Aku betul-betul berharap alu bisa menjadi seperti itu untuk Ryan. "Yuk, kita turun.. Bersama-sama."

"Bagaimana jika aku menangis setelah aku tahu kenyataannya, Ty?" tanyanya sembari menutup mata dan menggeleng-gelengkan kepala. aku dapat melihat beberapa tetes air mata yang mengalir di pipi gembul dan manisnya.

"Aku tidak bisa menjamin semua akan baik-baik saja, tapi aku dapat berjanji bahwa aku akan selalu menemanimu." Ujarku sembari membuma pintuku. Aku mengarahkan kepalaku keluar, memberi kode pada Ryan untuk ikut keluar bersamamu. "Tidak apa-apa, Ryan."

Bahkan si cowok yang terkadang galak pun bisa menjadi secemas ini. Dalam memoriku, aku memiliki ingatan tentang Ryan yang suka membela mendiang Christy 1.0. saat ia di tindas habis-habisan oleh teman-teman sekelasnya yang populer. Aku ingat dengan sangat jelas perkataannya, "Jangan ganggu Christy, atau kalian akan berhadapan dengan ototku!"

Ya, kata-kata itu persis sama dengan perkataan Ryan tempo hari. Aku sungguh bahagia dapat merasakan segala pengalaman mendiang Christy 1.0. Terutama, semua peristiwa yang melibatkan si cowok gembul yang manis ini. Ryan.

"Semoga semua baik-baik saja." Ujar Ryan yang juga sudah keluar dari mobil. Ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.  Ia menarik napas dan menyalakan lampu ruang tamu yang tadinya dimatikan. Mata artifisialku mulai bisa menyesuaikan diri ketika ruangan sudah terang selama beberapa detik. Ryan menengok sekeliling. "Halo?"

Hening.

Tidak ada tanggapan sama sekali yang terdengar ataupun terlihat. Biasanya aku suka dengan kesunyian. Entah mengapa, kali ini bulu kudukku merinding akibatnya. Jantungku berdebar keras. Suasana sangat mencekam.

"Permisi?" Aku dan Ryan berjalan ke kamar mandi. Ryan menyalakan lampunya dan kami tidak mendapati apapun selain kecoa yang sudab di injak gepeng.

Deg. deg.

Kemudian, kami ke ruang dapur yang dari ruang tamu hanya dipisahkan sekat kecil. Kursi-kursi di meja makan yang biasanya disusun rapi kini terlihat lebih acak-acakan. Laci tempat peralatan dapur pun nampak tidak tertutup rapat.

2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang