BAB 9- Keluarga Kecil

38 3 0
                                    

Aku mengamati layar laptop yang terus gambarnya terus bergerak. Proses pengunduhan tersebut sudah berlangsung lebih dari setengah jalan. Sebetulnya, aku sudah bosan menunggu selama kurang lebih satu jam. Aku melihat keluar jendela dan mendapati langit yang semakin gelap. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk kembali duduk di sofa.

File sudah terunggah sebanyak 67%  

Sepertinya proses ini belum akan selesai dalam waktu cepat. Aku menarik napas panjang karena memang sudah mulai bosan. Ternyata, untuk membuka dokumen dalam flashdisk tersebut memang membutuhkan waktu yang cukup lama. Data yang terlihat sepele ini memiliki banyak sekali lapisan perlindungannya. Namun, Felice sepertinya mengerti apa yang sedang ia lakukan.

"Lama sekali ya prosesnya." Komentar Ryan yang berdiri di belakang kursi Felice. Aku dan Velia berjalan bolak-balik di sofa ruang tamu tak jauh dari meja tempat Felice dan laptopnya beraksi. Kami berdua sudah membicarakan cuaca, politik, Presiden Addi, hingga anjing Christy 1.0 yang lucu dan sudah diadopsi oleh tantenya tersebut.

Felice tetap memerhatikan dengan jeli layar laptop yang penerangannya sudah dikurangi tersebut. Ia tidak bereaksi terhadap celetukan Ryan dan raut wajahnya nampak serius sekali. Namun, Ryan tidak mundur. Ia tetap bertahan dengan posisinya di belakang kursi Felice. Aku dapat melihatnya menatap Felice dari belakang dengan penuh arti. Apapun itu, sejujurnya aku tidak terlalu bahagia dengan perkembangan mereka.

"Fel, kamu belum lelah?" Tanya Ryan lagi. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya dan menyejajarkan kepalanya dengan Felice. Hatiku panas dibuatnya. Namun, apa hak diriku ini untuk marah?

"Belum, aku harus terus memantau pengunduhan data ini." Jawab Felice. Aku yang mengamati mereka dari belakang dapat melihat Felice yang menatap balik Ryan. Tidak seperti biasanya. Aku merasakan suatu hal yang ganjal.

Apakah ini yang dinamakan dengan rasa cemburu?

"Kalau kau lelah, kau boleh gantian denganku." Ujar Ryan lagi sembari memosisikan tubuhnya berjongkok di lantai. "Kamu sudah duduk dan tidak bergeming selama satu jam, lho."

"Tenang saja, Ry." Felice mulai menampakkan sebuah senyum kecil dan mendekatkan kepalanya mendekat ke arah Ryan. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."

Aku kesal. Akhir-akhir ini, Ryan sudah tidak memerhatikanku. Berani-beraninya ia mengubah jalan cerita hidupku dengan begitu cepat dan drastis. Seharusnya, akhir yang bahagia dari kisah ini adalah milikku!

File sudah terunggah sebanyak 69%

Lamban sekali peng-upload-an data ini. Aku sudah berkali-kali memerhatikan angka yang tertera, dan sayangnya belum terlalu banyak kemajuan yang kudapati. Diriku kini semakin geram melihat Ryan yang menarik kursi satu lagi dan duduk bersebelahan dengan Felice. Tidak, jangan sampai ia merebut Ryan dari aku!

"Fel, aku boleh menanyakan sesuatu?" Tanya Ryan perlahan. Aku dapat melihat Felice mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Duh, percobaan macam apa ini. Perasaanku semakin tidak karuan karenanya.

"Benar nih boleh? Kau tidak akan menyiramku dengan air, bukan?" Ucap Ryan dengan tatapan mata usilnya. Padahal, sebelumnya tatapan mata tersebut hanyalah dikhususkan untuk Christy 1.0. Tidak rela, sungguh aku tidak rela. Kemudian, Felice tersenyum manis. "Santai saja, Ry."

"Sebetulnya, aku ingin tahu kenapa kamu mau jadi prajurit." Ungkap Ryan sembari tetap fokus pada wajah Felice. Pancaran matanya bersinar secerah matahari. Aku tahu aku tidak punya hak untuk cemburu. Aku dan dia tidak memiliki status apa-apa. Apalah dayaku?

"Ada beberapa alasan. Hal pertama dan yang pasti sudah kalian ketahui juga adalah bahwa aku ingin membalaskan dendam ayahku." Jelas Felice dengan cepat. Baru pertama kalinya aku melihat dia bercerita secara menggebu-gebu tanpa pasang urat.

2.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang