"Inikah tempatnya?"
Aku dan Velia saling lihat-lihatan. Semak-semak dimana-mana. Kami juga ditemani oleh pohon-pohon rindang di sekitar kami. Aku rasa, tempat ini akan mengerikan pada malam hari. Angin yang sepoi-sepoi membuatku merasa nyaman.
"Ya, disinilah jurnalis kenalanku berada." Jawab Felice santai sembari mematikan mesin mobil-mobilnya. Ryan yang lagi-lagi berada di sebelahnya hanya menatap rumah dihadapan mobil kami tersebut. Aku pun sudah lama bertanya-tanya dalam hati ada apa di antara Ryan dan Felice.
Velia pun menggeleng-gelengkan kepala. "Rupanya rumahnya tersembunyi sekali."
"Ia memang tidak menyukai keramaian." ungkap Felice lagi. Aku pun memikirkan sosok 'dia' yang disebutkan Felice. Aku tidak tahu seperti apakah tampak mantan jurnalis kenegaraan tersebut.
"Kamu sudah bawa USB berisikan data tersebut?" Tanya Ryan. Sepertinya, ia sedang ingin memastikan. Aku setuju sih, karena percuma kalau kami sudah sampai tapi data yang dibutuhkan tidak ada.
"Itu memang hal pertama yang sudah kupersiapkan dan kuingat." ujar Felice sembari tersenyum penuh arti. Ia pun membuka kunci mobil dan berjalan keluar. Ia memberi kode kepada kami dengan gerakan kepalanya. "Yuk, teman-teman."
Sore ini sangat dingin. Langit pun terlihat mendung dan anginnya mulai bertiup kencang. Aku dan Velia mengikuti langkah Felice untuk keluar mobil. Sebetulnya, aku melakukannya karena terpaksa. Aku takut.
"Jadi, bagaimana?" Ryan-lah yang paling terakhir keluar dari mobil. Ia berjalan menghampiri aku, Velia dan Felice. Kami bergerombol di depan pintu masuknya. Rumah tersebut tidak terlalu besar, namun tidak juga terlalu kecil.
"Serahkan padaku, aku yang akan berbicara kepadanya." Ujar Felice sembari menggerakan tangannya untuk mengetuk pintu yang sudah berdebu itu.
Tok, tok, tok..
Beberapa detik kemudian, aku mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari balik pintu. Semakin lama, semakin mendekat. Ketika pintu mulai terbuka sedikit, aku mencium bau rokok yang sangat menyengat. Ugh, sedari dulu aku membenci bau ini. Bau rokok adalah bau yang tercium pada saat Papa dan aku ditembak. Duh, kenangan buruk mulai terpikirkan lagi.
"Bengong aja, nak?" Sebuah suara memotong lamunanku. Oh ya, kembali ke dunia nyata.
Sosok tersebut tidak terlalu tinggi, dan bertubuh sedikit gemuk. Ia mengenakan jaket tipis berwarna hijau tua. Aneh juga, padahal suhu di sini panas.
"Selamat siang, Pak Amrin." Ujar Felice menyapa sembari berdiri tegak. Ia menatap lelaki tua yang nampak mengerikan tersebut tanpa gentar. Orang yang dipanggil Pak Amrin tersebut tersenyum. Kau tahu apa, ternyata gigi-gigi depannya ompong.
"Saya ingat kamu, Felice." Ujarnya sembari terus menyeringai. Bulu kudukku merinding karena senyumnya tidak terlihat indah sama sekali. Pak Amrin pun membuka pintunya lebar-lebar dan menggunakan gestur tangan untuk membiarkan kami masuk. "Silahkan, anak-anak."
Aku, Velia, Ryan dan Felice melangkah memasuki bangunan itu. Diluar dugaanku, suhu di dalam cukup dingin. Pantas saja Pak Amrin menggunakan jaket. Aku menyapukan pandanganku ke seluruh ruang tamu yang cukup luas tersebut. Banyak lukisan-lukisan bersejarah di sekitarku. Sepertinya, orang ini cukup menarik untuk dianalisa.
"Bapak menyukai sejarah?" Tanya Velia yang ternyata berpikiran sama denganku. Mungkinkah kami sudah satu hati dan berjodoh? Ngomong-ngomong, aku hanya bercanda lho perihal ini. Aku kan inginnya berjodoh dengan Ryan.
"Kau memang jeli, nak." Ujar Pak Amrin yang sedang berada di dapur, suaranya sedikit menggema. Aku mengintip sedikit, rupanya ia sedang mempersiapkan minuman untuk kami. Warnanya merah, mungkin sirup dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
2.0
AdventureKetika membuka kedua mata, aku tidak sadar kalau hari itu adalah hari pertama dari hidupku yang baru. Aku yang lama memang sudah mati. Aku ditugaskan untuk melanjutkan jejak hidupnya di dunia. Inilah kisah dan takdirku sebagai seorang manusia kloni...