part 2✓

28.7K 1.2K 7
                                    

"Ketika masa depan ada dihadapan mata dan keraguan yang makin memenuhi rongga dada.
Masih Bisakah dia berkata 'semua akan baik-baik saja'." -Author-

---

Hazna duduk menghadap pasangan paruh baya itu. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti 4 tahun yang lalu dan Hazna mengalihkan pandangan pada laki-laki muda yang tak lain adalah Maliq, putera dari pasangan paruh baya itu. Lalu Hazna melihat senyum ramah dari Maliq yang membuat Hazna langsung menunduk menghindari tatapan itu. Hazna sedikit termenung melihat senyum Maliq tadi, bukan karena senang. Sungguh, Hazna tak pernah merasakan perasaan senang ataupun bahagia hanya karena mendapat senyuman dari laki-laki tampan.

Justru sebaliknya, Hazna takut mengakibatkan kemarahan Allah setiap mendapat sebuah senyuman yang jelas ditunjukkan kepadanya.
Bukan bermaksud berbesar kepala, tapi ini bukanlah pertama kalinya Hazna mendapat senyum seorang lelaki tampan.

Di Kairo Hazna memang tidak banyak berinteraksi dengan laki-laki tapi tak sedikit pula yang berusaha mendekatinya, entah karena tertarik atau penasaran.
Hazna pendiam dan terkenal cuek dengan keadaan sekitar, tapi dia adalah mahasiswa yang sangat aktif di organisasi.

"Jadi nak, bagaimana apakah kamu bersedia meneruskan perjodohan dengan Hazna?"
Hazna mendongak saat mendengar pertanyaan Abi yang ditunjukkan pada Maliq lalu Hazna mengalihkan pandangannya menatap Maliq, karena ingin mendengar jawaban laki-laki itu.

"Insyaallah, saya siap Om." Abi Hazna tersenyum mendengar jawaban tegas Maliq.

Dan itu pun membuat Hazna bingung, bukankah dulu Maliq sendiri yang tidak mengingkan perjodohan ini, tapi mengapa saat ini Maliq terlihat begitu yakin menerimanya?
Apa waktu 4 tahun, saat Hazna pergi itu bisa mengubahnya.
Tapi Hazna tidak perduli, Hazna melihat Abi nya yang tersenyum dengan jawaban Maliq.

"Lalu bagaimana dengan kau Hazna?"

"Saya bersedia tante."Hazna tersenyum menjawab pertanyaan wanita paruh baya yang dia kenal sebagai tante Mia itu.

"Syukurlah akhirnya kamu benar-benar akan jadi menantu tante.
Tante senang sekali."

Hazna hanya bisa tersenyum mendengar perkataan tante Mia, lalu terjadilah kesepakatan antara kedua orang tua Hazna dan maliq bahwa pernikahan akan dilaksanakan bulan depan.

Selagi para orang tua sibuk membicarakan tentang pernikahan Hazna hanya mampu diam dengan fikiran melayang kemana-kemana.

Hazna tahu bahwa mungkin kelak hubungan ini tidak akan berjalan dengan mudah, tapi entah keyakinan darimana semalam saat Hazna melaksanakan sholat malam memohon diberi petunjuk oleh Allah. Tidak disangka keesokan paginya saat Hazna bangun pagi, Hazna mendapat kemantapan hati untuk menjalankan perjodohan ini.

Hazna merasa ada sesuatu hal yang membuatnya harus menerima perjodohan ini, entah sesulit apapun nanti dia menjalaninya. Yang terpenting adalah Hazna harus menjaga hati, fikiran dan perasaannya agar kelak saat sesuatu terjadi dalam hubungannya dan Maliq, Hazna tidak akan terlalu merasakan sakit.

"Nak Maliq, ada baiknya kamu dan Hazna berbicara empat mata tentang pernikahan kalian. Kami akan makan malam lebih dulu dan kalian bisa menyusul nanti saat selesai bicara."
lamunan Hazna buyar saat mendengar perkataan Ummi nya yang meminta dia berbicara dengan Maliq. Hazna mengalihkan pandangan kearah Maliq dan melihatnya tersenyum ramah pada Ummi nya.

"Iya tante, saya akan membicarakan pernikahan ini dengan Hazna."
Tepat setelah itu Maliq mengalihkan pandangan kearah Hazna, masih dengan senyum menghiasi wajahnya dan Hazna langsung mengalihkan pandangan kearah lain.

Setelah itu orang tua Hazna dan orang tua Maliq pun beranjak kearah ruang makan, jarak dari ruang tengah dan ruang makan memang dekat jadi mereka masih bisa melihat Hazna dan Maliq, walau mungkin tak dapat mendengar perbincangan mereka.

"Bagaimana di Kairo?" Hazna menoleh kearah Maliq saat dia memulai pembincaraan.

"Menyenangkan." Hazna memandangnya yang sedang tersenyum, senyumnya tulus. Tidak terlihat seperti keterpaksaan, dalam hati Hazna bertanya-tanya apa yang membuat Maliq berubah menjadi seperti ini.

"kenapa?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Hazna. Dan Maliq mengerutkan keningnya seolah bingung dengan pertanyaan Hazna.

"Apa maksudmu?" Hazna menghembuskan nafas perlahan dengan berbagai pertanyaan yang muncul dikepalanya.

"kenapa tiba-tiba kau menerima perjodohan ini? bukankah sejak awal kau menentang keras menolak menikah denganku."

Sejenak Maliq terdiam sambil memandang Hazna dan tersenyum.
"sebelumnya aku minta maaf tentang kejadian 4 tahun yang lalu, tepat disaat pertemuan terakhir kita. Aku tahu dulu aku adalah laki-laki pengecut dan mungkin juga brengsek tapi 4 tahun berlalu begitu cepat dan setiap orang bisa berubah kan?"

Hazna termenung mendengar dan memikirkan jawaban dari Maliq.
Memang benar, setiap orang bisa berubah tapi benarkah laki-laki dihadapannya ini berubah drastis hanya dalam waktu 4 tahun?

"Jadi bagaimana menurutmu tentang perjodohan ini?"

"Aku ingin belajar untuk menerima perjodohan ini. Belajar menerimamu untuk jadi pendampingku dan belajar untuk menjadi suami yang baik untukmu. Ya, aku tahu mungkin belum ada perasaan cinta diantara kita. Tapi kita bisa saling belajar bukan? yang terpenting kita menjalani semua dengan ikhlas dan yakin. Karena bukankah cinta saja tidak cukup untuk dijadikan alasan membangun rumah tangga?"

Hazna tercengang mendengar jawaban Maliq. Sungguh Hazna tidak percaya, laki-laki yang dulu begitu buruk di matanya bisa berbicara seperti itu. Untuk beberapa detik Hazna memandang mata Maliq dan melihat kesungguhan disana.
Hazna memalingkan wajah kearah lain.

"Ya, kau benar. Cinta saja tidak cukup untuk dijadikan modal berumah tangga."

"Jadi apa kau bersedia menjadi pendampingku, menerima segala kekuranganku. Menerima aku dan masa laluku, menemani di susah dan senangku? menerima pinanganku untuk membangun sebuah pernikahan yang diridhoi Allah? "

Hazna menoleh cepat pada Maliq dan mencoba mencerna ucapannya.
"Apa kau sedang melamarku?"

"Anggap saja seperti itu, walau kita dijodohkan tapi aku ingin memulainya dengan baik. Dengan keikhlasan darimu dan juga aku, bukan karena kesepakatan orang tua kita yang seakan membuat kita terpaksa menikah. Jadi bagaimana, apa kau bersedia menerima lamaranku?"

Hazna termenung beberapa saat, lalu menutup mata memantapkan keputusan yang telah dia yakini setelah lama berfikir sejak semalam.
Hazna membuka mata dan tepat memandang bola mata hitam pekat milik Maliq yang sedang memandang pada Hazna menunggu jawabannya.

"Ya, aku bersedia."

--------------------

WEDDING FOR MY HUSBAND (SERIES 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang