1. Tawuran

8.1K 583 33
                                    

Tabia mengeratkan pegangannya pada ujung jaket Arsen. Ia benar-benar takut, kali ini Arsen mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi dan gila gila an. Ia menenggelamkan wajahnya tepat di punggung tegap Arsen dan mencoba untuk menghilangkan rasa takutnya.

"Arsen! Gue mending telat dari pada lo ngebut kayak gini!" Teriak Tabia sambil memukul pelan bahu Arsen. Lelaki itu tidak menjawab, ia masih fokus kepada jalanan dihadapannya. "Gue masih mau hidup Sen. Please gue masih perawan!"

"Pulang sekolah nanti gue ilangin deh keperawanan lo." Arsen terkekeh kecil di balik helm fullface nya.

Tabia memberi pukulan bertubi-tubi di bahu Arsen. "Ish, mesum banget sih lo! Parahh." Tabia masih memukulnya.

"Pegangan aja kali. Bawel banget sih lo!" Tabia menghentikan pukulannya, lalu mencebikan bibirnya kesal.

Setelah olahraga jantung selama 10 menit, akhirnya Tabia dan Arsen sampai di sekolah pukul 06.50. masih ada waktu memang, tetapi sekarang mereka tidak punya waktu untuk mencontek pelajaran pertama. Arsen dan Tabia berpisah di perempatan koridor. Mereka berbeda kelas, dan jurusan. Tabia berada di kelas XI-IPS 1 bersama Afkar, sahabatnya. Sedangkan Arsen berada di kelas XI-IPA 2, dan Devan berada di kelas XI-IPA 1.

Tabia mendaratkan bokongnya, dan langsung membuka buku pelajaran pertama. Ia harus cepat-cepat mencontek demi keselamatan jantungnya lagi. Ia berlari kesana kemari untuk meminta jawaban Matematika yang di PR kan seminggu yang lalu. Sebenarnya Tabia anak yang rajin. Tetapi ketiga sahabat lelakinya sedari minggu kemarin merengek meminta mereka ber-movie maraton setiap malam di rumahnya. Mau tak mau, suka tidak suka ia mengikuti keinginan ketiganya.

"Heh, kok nyontek." Afkar menyenggol pelan bahu Tabia.

"Kayak yang enggak aja."

"Enggak kok, gue tuh mikir!" Afkar menunjuk pelipisnya.

"Kiamat kalo lo mikir."

Afkar menyentil kening Tabia. "Ngomong tuh di jaga. Tuh bibir ada setannya?"

"Ish, sakit Af. Udah deh lo pergi dulu!" Tabia mengibas-ngibaskan tangannya keudara.

"Kalo gue nggak mau?"

"Serahlah." Tabia menyerah dan kembali berkutat dengan tugas dihadapannya.

Kelas yang awalnya terdengar ribut dan ricuh, tiba-tiba hening saat pintu depan kelas terbuka lebar. Tabia mengangkat kepalanya untuk melihat sekeliling kelas dan melihat apa yang terjadi dengan teman-teman sekelasnya yang tiba tiba diam. Matanya membelalak, saat melihat Bu Sekar; guru Matematika nya sedang berdiam di depan kelas, dengan pandangan mematikan.

"Anak-anak, kumpulkan tugasnya di meja. Sekarang!" Nah, Tabia harus siap-siap olahraga jantung lagi untuk mendengar teriak-teriakan merdu milik Bu Sekar. Semua ini gara-gara Afkar!

***

"Nah, sekarang gue di hukumnya ada temen kan." Tabia menginjak keras kaki Afkar yang berdiri di sampingnya."Aw, sakit Bi!" Afkar meringis.

"Tabia, Afkar. Kalian kerjakan soal yang ibu tulis di papan tulis. Ayo cepat!" perintah Bu Sekar pada keduanya yang masih diam menatap papan putih di hadapan mereka.

Tabia menghela nafasnya panjang, lalu menatap Afkar kesal. Ia mengambil Spidol dan mencoba untuk mengisi beberapa soal yang sangat-sangat tidak ia pahami. Ia mengisinya asal dan Afkar pun melakukan hal yang sama. bukannya di persilahkan duduk, mereka berdua kini mendapat omelan panjang yang menyebabkan mereka berdua berdiri di depan kelas sampai bel istirahat.

"Devannn!" teriak Tabia saat melihat Devan sedang duduk di kantin dengan Arsen. Lelaki itu melambaikan tangannya mengisyaratkan Tabia dan Afkar yang datang bersama untuk menghampirinya.

The Feeling (Tidak Akan di Lanjutkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang