14. In truth

3.3K 328 17
                                    

Vote dan Kome jangan lupa ya :D

Enjoy!

***

"Boss, Den Afkar Boss. Dia kembali sakau."

Deg.

Satu kalimat itu bagaikan bongkahan Es yang menimpa mereka bertiga. Apa pria berbadan besar itu katakan? Afkar sakau? Berarti selama ini? Astaga mereka benar-benar tidak percaya!

Dito langsung berlari keatas, dan diikuti Arsen, Tabia, dan juga Devan di belakangnya. Dito tidak mempermasalahkannya kali ini. Kerena sepertinya, sahabat-sahabat anaknya ini memang harus mengetahui kondisi Afkar yang sebenarnya.

Langkah Arsen, Tabia, dan Devan terhenti di ambang pintu kamar Afkar. Mereka benar-benar tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Afkar tidak dalam kondisi baik-baik saja. Bahkan jauh dari kata itu.Ada sebuah tali yang menjerat tangan serta kaki Afkar agar lelaki itu berbaring di atas kasur dengan posisi terlentang.

Afkar sedang mengamuk, dan mencoba untuk melepaskan kaitan tali yang menghalangi ruang geraknya. Lelaki itu benar-benar tidak tahan dengan rasa sakit yang ia alami saat ini. Rasanya benar-benar sakit, seakan-akan dunia ini bersekongkol untuk menghancurkannya.

Afkar memberontak dan berteriak kacau. Penampilannya benar-benar sangat mengenaskan. Rambutnya sudah tidak beraturan, bajunya sobek, dan banyak luka di sekitar tubuhnya yang diyakini adalah karena ulah dirinya sendiri.

Dito hanya diam di samping ranjang Afkar, melihat keadaan anak semata wayangnya ini dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuknya. Dito tidak bisa berbuat apa-apa sekarang, selain berdoa kepada sang pencipta agar kondisi anaknya cepat kembali pulih seperti semula.

Pria berbadan besar yang di tugaskan Dito untuk menjaga Afkar, menahan lengan Afkar agar lelaki itu tidak terus memberontak, dan terus menyakiti dirinya sendiri dengan menghentakan semua anggota tubuhnya, yang membuat memar pada tubuhnya sendiri.

"ANJING! GUE BUTUH SEKARANG ANJING. GUE NGGAK KUAT. TOLONG GUE, GUE BENER BENER MAU MATI! TOLONG GUEE—" tangisan Afkar pecah sambil terus memaki apapun disekitarnya. Tabia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya. Tangis Tabia pecah di pelukan Arsen saat ini juga.

"BANGSAT LO AWAS!" Afkar masih terus memberontak dan mencoba melepaskan kaitan tali di kaki serta tangannya. "GUE NGGAK KUAT—" Afkar kembali menumpahkan rasa sakit yang ia rasakan lewat ucapan dan air mata yang terus mengalir deras di pipinya.

Devan dan Arsen benar-benar terpukul dengan apa yang menimpa sahabatnya ini. Mereka ingin membantu, tapi mereka tidak tau harus bagaimana. Mereka tak tega melihat Afkar yang sangat kesakitan seperti itu, tetapi apa daya? Mereka tidak bisa berbuat apa-apa saat ini selain mendoakannya.

"TUHAN! SAKITT—" tak terasa satu tetes air melewati pipi mulus Arsen. Ia menghapus air bening itu secara kasar, lalu mengeratkan pelukan Tabia yang masih memeluknya. "TUHAN—" Devan benar-benar tidak kuat. Lelaki itu keluar dari kamar Afkar dan langsung terdiam di sofa samping pintu kamar Afkar. Devan benar-benar tidak tega, mengapa sahabatnya bisa seperti ini? Ya Tuhan, ingin sekali Devan membantu Afkar agar lelaki itu bisa mengurangi rasa sakitnya.

Berjalannya waktu, Afkar sudah sedikit tenang. Perlahan, mata Afkar terlelap, mungkin saja akibat dari kelelahan karena rancauannya sendiri. Dito menghela nafasnya pelan, lalu mengisyaratkan Arsen dan Tabia agar mengikutinya keluar kamar, dan membiarkan agar Afkar beristirahat.

Sekarang, mereka sudah duduk kembali di balkon lantai dua. Dito menghela nafasnya sambil melihat kearah tiga remaja yang kini sedang saling menguatkan diri mereka satu sam lain. "Kalian sekarang udah liat kan, kondisi Afkar kaya gimana?" ucap Dito sambil menatap Arsen, Tabia dan Devan bergantian.

The Feeling (Tidak Akan di Lanjutkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang