"Aku tidak gila, Keenan." Kania berusaha melepaskan pegangan Keenan yang cukup kuat dipergelangan tangannya.
Keenan terus saja berjalan menuntun Kania masuk kedalam bangunan itu. Pintu terbuat dari kaca, otomatis terbuka ketika mereka mendekat. Keenan tidak menghiraukan Kania yang terus meronta.
"Aku telah membuat janji pukul 1 siang ini dengan dr. Susan," sapa Keenan kepada resepsionis didepan mereka.
"Sepuluh menit lagi sir, dr. Susan siap bertemu anda," jawab wanita itu dengan sopan,"Kami persilahkan anda berdua menunggu diruang tunggu. Mari di antarkan oleh petugas kami." Lanjutnya kemudian.
Kania memandang tajam Keenan didepannya. Mau tidak mau dia mengikuti pria itu. Tidak ada gunanya dia meronta.
Setelah petugas itu pergi, tinggal lah mereka berdua diruangan tunggu ini. Tiba-tiba, Keenan meraih Kania kedalam pelukannya.
"Maafkan aku." bisiknya.
Airmata Kania kembali menetes.
"Tapi aku tidak gila Keenan." Kania terisak dalam pelukan Keenan," Kenapa aku harus ke psikiater?"
Keenan melepaskan pelukannya dan menatap Kania dalam," Percayalah kepadaku, Kania. Aku akan membantumu untuk lepas dari Reynand."
"Aku mohon bersabarlah."
*
"Anda juga adalah seorang dokter dan saya yakin, anda pasti sulit menerima apa yang akan saya katakan kenyataan ini."
dr. Susan berkata dengan hati-hati kepada Kania yang masih menatapnya dengan tidak percaya.
"Depresi anda termasuk depresi berat dr. Kania," Kata dr. Susan akhirnya," Dan saya anjurkan anda beristirahat untuk sementara waktu."
Jantung Kania berdetak cepat dan dia hampir saja hilang kendali.
"Apa yang anda maksud adalah..." ucapan Kania terhenti. Dia tidak sanggup untuk melanjutkannya lagi.
"Benar dr. Kania. Untuk sementara, anda harus berhenti bekerja dan kompetensi anda sebagai dokter, sangat di sayangkan, akan di bekukan untuk sementara waktu."
*
"Apa kamu baik-baik saja, Kania?" Keenan menatap khawatir kearah Kania yang duduk di jok penumpang disebelahnya. Dia sendiri sedang sibuk menyetir menuju apartemen miliknya dan Kania.
Kania hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Keenan. Terdengar hembusan berat nafas Kania dan heningpun terpecah.
"Apa aku harus kembali ke Amerika, Keenan?" Tanya Kania sendu.
Keenan terdiam untuk sementara waktu. Tidak lama kemudian mobil itu menepi dan berhenti di tepi jalan. Keenan mengalihkan tatapannya kini, hanya terfokus kearah Kania yang duduk di sebelahnya.
"I know its hard for you. Agar kamu lepas sepenuhnya dari Reynand, aku memang tidak bisa menjaminnya Kania," Kania melihat beban yang sangat berat di kedua mata Keenan saat ini.
"Tapi aku akan terus membantumu dengan seluruh kekuatan ku, Kania," Keenan menggenggam erat tangan Kania.
"Jadi, Aku mohon percaya lah."
*
Keesokan harinya.
"Harusnya aku menyadari memang tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara kita," Wanita cantik terkekeh sembari memainkan cangkir kopi depannya.
"Aku hanya meminta pendapatmu, bukan mengungkit kembali masa lalu kita," Lelaki didepannya dengan cepat membantah,"Are you agree or not?"
Wanita itu akhirnya mengangkat kedua bahunya dan kali ini, dia menatap lelaki didepannya dengan serius.
"Pertama, I am nothing for you. Kedua, We're just a past. Ketiga, why my opinion is so important for you?" Wanita mencecarnya dengan kenyataan yang ada, namun hati lelaki itu sama sekali tidak bergeming.
"Yes or not as answer by me, it doesn't mean anything, Keenan."
"Tapi hanya kamu lah satu-satunya yang pernah aku cintai dan ingin aku habiskan hidupku bersama denganmu, Alena..."
Wanita itu terperanjat kaget untuk sesaat dan dengan cepat menguasai dirinya kembali.
"Menikahlah Keenan.. Aku tidak ingin menjadi penghalang untukmu, penghalang segala kebaikan hati malaikat kamu itu."
*
KAMU SEDANG MEMBACA
QUARREL
RomanceSudah 5 tahun sejak kedatangan Kania di kota ini untuk pertama kalinya, di Berkeley City. Kota dimana dia kembali menata hidupnya, memulai kembali lembaran kehidupan Kania yang sempat porak poranda. Kania, seorang wanita dengan nasib yang kurang ber...