#16 - He is still him

251 11 0
                                    

Reynand mencoba untuk tetap fokus menyelesaikan paper yang sedang dia selesaikan, namun perkataan ibunya saat makan malam tadi terus mengusiknya. Jujur, Reynand tidak tahu dimana Kania sekarang. Tahu nomor teleponnya pun tidak. Dia tidak mengerti apa yang ibunya sedang rencanakan. Tapi menurut feeling Reynand, His mom can do everything.

Apa dia harus memperingatkan dr. Keenan Suvervisornya?

Reynand meraih ponselnya yang dia letakkan di atas tempat tidur dan mengetikkan sebuah nama. Akhirnya dia memutuskan untuk menelpon Keenan. Teleponnya terhubung namun tidak ada jawaban dari pemiliknya. Reynand mencoba kembali untuk menelpon, tapi Keenan tetap tidak mengangkat teleponnya.

Jantung Reynand menjadi berdebar tidak karuan.

*

            "Siapa yang menelponmu?" tanya Kania sembari melirik Keenan yang duduk di kursi kemudi disampingnya.

            "Reynand," jawab Keenan seolah-olah meminta persetujuan kepada Kania untuk menerima telepon itu.

            Kania terdiam sejenak, kedua matanya menatap lurus kedepan,"Kalau memang ada kepentingan Rumah Sakit, kau bisa mengangkatnya, Keenan."

            Keenan tersenyum simpul, dia mengulurkan tangannya dan mengusap pipi wanita disampingnya itu.

"Aku akan mengabaikannya, kau tidak usah khawatir Kania." ucapnya lembut kepada Kania.

*

            Alena masuk ke ruangan itu, tempat dimana hampir 15 tahun ini tidak pernah dia datangi lagi.

           Ruang Kerja dr. Lie Dharmawan Rosali, Spesialis Bedah Thorax-Kardiovaskular, Ayahnya.

Lelaki paruh baya itu sedang sibuk berkutat dengan berkas-berkas di meja, tentu saja masih memakai baju operasi ketika Alena masuk ke dalam ruangannya. Sama sekali tidak ada gurat kelelahan di wajah lelaki paruh baya itu. Banyak perasaan bersalah kini menerpa Alena.

Her Dad is never changed.

"Papa..."

Hanya satu kata itu yang bisa keluar dari mulut Alena. Kedua mata cantiknya telah berurai airmata. Lelaki paruh baya itu tersentak kaget dan menatap sosok anak yang sudah lama tidak dia temui. 15 tahun adalah waktu yang tidak sebentar, dan anak perempuan satu-satu nya ini telah meninggalkannya.

"Alena..." Dia kemudian berdiri dan menyongsong anak gadisnya itu kedalam pelukannya. Alena menangis tersedu-sedu.

"Maafkan Alena pa.. Maafkan Alena karena telah meninggalkan papa dan mama.."

*

"Papa kerja lembur hari ini?" Alena bertanya sembari menggenggam tangan Ayahnya yang sudah mulai keriput.

"Ada beberapa pasien yang harus aku operasi hari ini anak ku, dan aku tidak akan pulang sebelum menyelesaikannya," jawab Ayahnya yang kini kembali sibuk dengan semua berkas di mejanya.

"Apa kau tidak ingin pulang ke rumah? Mama kamu pasti sangat merindukanmu, Alena," dr. Lie melirik Alena lewat kacamatanya.

"Dan apa yang membuat kamu pulang kembali ke Indonesia?"

Alena tidak menampik kalau Ayahnya akan bertanya hal itu kepadanya. Kenapa dia kembali, kenapa dia pulang ke Indonesia? Pertanyaan itu sudah Alena perhitungkan. 15 tahun dia menata hidupnya kembali di Amerika, mengenyam pendidikan sesuai dengan passionnya, menentang kemauan orangtuanya dan menikah dengan kekasihnya yang sekarang berakhir kandas di meja perceraian. Alena tidak tahu apakah Ayah dan Ibu nya akan memaafkannya lagi.

"I divorced, pa." Jawab Alena jujur.

Tidak ada raut terkejut diwajah Ayahnya, dr. Lie masih membaca berkas ditangannya dengan tenang.

"Aku tahu, Keenan selalu memberitahuku bagaimana kabar kamu di sana, Anak ku," lelaki paruh baya itu kemudian tersenyum.

"Aku harap Keenan sudah melamar kamu kembali. Apa kamu sudah menerimanya?" Lanjutnya.

Kedua mata Alena terbuka lebar. Detak jantungnya kini menjadi tidak beraturan.

"Keenan akan melamar aku pa?" Alena bertanya kembali, hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Of course, Keenan datang kepadaku 1 minggu lalu dan meminta restu ku untuk melamar kamu, Anak ku," Senyum di wajah dr. Lie semakin lebar,"Dia adalah dokter jantung yang handal dan seorang calon suami yang hebat. Aku harap kamu tidak menolaknya, Alena."

' Dan Keenan sekarang akan menikah dengan Kania, pa! ' batin Alena dalam hati. Entah kenapa hatinya terasa teriris sakit saat ini.

*

"Kepala ku masih terasa pusing, apa tidak apa-apa kamu pergi sendiri Keenan?" Kania menelpon Keenan setelah selesai mengganti pakaiannya dan kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

"Tentu saja, kamu tidak usah khawatir," jawab Keenan di seberang sana,"Aku hanya pergi 2 hari dan kita akan sege— tut tut tut"

"Keenan.. Keenan!" Kania memanggil Keenan dengan panik. Sambungan telepon terputus.

Dia mencoba menelepon Keenan kembali namun tidak bisa tersambung. Kedua tangan Kania gemetar dan kedua kakinya terasa lemas tidak berdaya.

'Ya Tuhan, lindungi Keenan'



*

Ps. Entah apa masih ada yang setia menunggu update'n cerita ini hehehe Ini cerita yang aku bikin tanpa tau endingnya gimana dan alur cerita semuanya spontan aja pas aku ngetik, makanya lama baru update. Maaf ya. Btw, terima kasih sudah mampir untuk baca cerita ini. Jangan lupa vote ya hehehe. —Henbaby

QUARRELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang