"Sial," Gerutu Keenan sambil memandang ban belakang mobilnya yang kempes.
Keenan sedang berada di tengah jalan dan jauh dari keramaian. Dia akan pergi ke sebuah perkampungan untuk kegiatan bakti sosial besok bersama beberapa residennya dan mengunjungi seorang pasien yang pernah di operasi beberapa bulan yang lalu.
Ponsel Keenan kehabisan baterai saat menelpon Kania tadi dan dia lupa membawa kabel chargernya. Poor Keenan. Keenan membuka pintu belakang mobilnya dan mulai mengeluarkan ban cadangan dan juga dongkrak miliknya. Di tengah malam buta seperti ini sepertinya dia harus sedikit bekerja keras.
Cukup lama Keenan mengganti ban mobil, keringat mulai membasahi pelipisnya. Tidak ada tanda-tanda kendaraan lain melintas mengingat sekarang sudah tengah malam buta.
Akhirnya Keenan berhasil melepaskan ban belakang miliknya yang kempes dan menggantinya dengan ban cadangan. Samar terdengar suara dari kejauhan. Keenan memicingkan matanya, silau cahaya dari sebuah mobil perlahan melaju mendekat kearahnya.
Dan tidak lama berselang, mobil itupun berhenti tepat didepan Keenan berada.
*
Badan Kania masih gemetar. Perasaan tidak enak terus menyelimutinya. Sekarang sudah pukul 23.00 sejak teleponnya dan Keenan terputus satu jam yang lalu. Harusnya Keenan sudah tiba di Desa tempatnya akan melakukan bakti sosial besok, namun hingga saat ini Keenan belum memberikan kabar.
Kania meraih ponselnya dan menelpon taksi untuk menjemputnya sekarang ke apartemen. Dia harus mencari tahu kabar Keenan sekarang. Dengan tergesa-gesa Kania berganti pakaian dan meraih tas miliknya, hampir berlari keluar dari apartemennya. Tidak lama kemudian, tampak sebuah taksi datang dan Kania langsung masuk ke dalam.
"Antar saya ke Rumah Sakit Cipto ya pak," perintah Kania sembari mengatur nafasnya.
Semoga semuanya baik-baik saja, bisik Kania didalam hati.
*
Reynand tidak bisa memusatkan konsentrasinya. Wajah Kania terus menerus berputar-putar didalam kepala Reynand. Apa Kania baik-baik saja? Reynand tidak bisa menjawab pertanyaan yang terus muncul di benaknya itu.
Akhirnya Reynand memutuskan untuk bangkit dari kursinya dan membereskan paper miliknya dengan cepat. Setelah mengenakan jaket yang tergantung dibelakang pintu, Reynand bergegas keluar kamar dan menuju garasi, menyalakan mesin mobil dan meluncur keluar pagar megah rumah kediaman orangtuanya.
Dia harus tahu dimana Kania berada sekarang.
*
Satu-satunya tempat yang ada di benak Reynand adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat dia pertama kali dan Kania bertemu. Gila memang, Reynand menyadari kalau tengah malam seperti ini sangat kecil harapan seseorang akan membantunya menemukan alamat Kania. Namun Reynand tidak berputus asa. Setelah memarkirkan mobil, dia berjalan dengan cepat menuju Lobby Rumah Sakit. Dia menyapa ramah seorang security yang berpapasan dengannya dan melanjutkan berjalan menuju lantai Administrasi.
Suasana lorong yang sepi dan semua ruangan dengan keadaan gelap, menandakan tidak akan ada seorangpun yang akan Reynand temui disini. Dengan sedikit berputus asa, Reynand memutuskan untuk kembali turun kebawah dengan menggunakan lift dan mencoba bertanya sesuatu dengan petugas administrasi yang selalu stand by 24 jam berjaga di Unit Gawat Darurat. Mungkin dia akan mendapat sedikit informasi di sana.
Langkah cepat Reynand bergema di sepanjang lorong menuju Unit Gawat Darurat. Pintu kaca itu otomatis terbuka ketika Reynand berjalan melintasinya. Setengah berlari Reynand menuju meja resepsionis yang tampak didepannya itu.
"Saya dokter Reynand, apakah saya bisa mendapat—"
"Permisi, Saya Kania, salah satu staf di Departemen Pediatrik, boleh saya meminta kontak salah satu Residen Kardiologi?"
Nafas wanita itu terengah-engah, kata-kata yang keluar setengah terbata-bata, Reynand memandang wanita yang sudah menginterupsinya itu dengan takjub.
Wanitanya ternyata baik-baik saja.
*
Pintu mobil berwarna merah itu terbuka lebar, Keenan masih menyipitkan matanya untuk melihat siapa pemilik mobil itu. Sepasang kaki jenjang perlahan turun dari dalam mobil dan keluarlah wanita itu.
Alena. Dengan kedua bola matanya yang tampak sembab.
Keenan berjalan bergegas menghampiri wanita itu. Tidak peduli keringat yang membasahi tubuh dan pakaiannya serta tangannya yang sedikit kotor, dia terus berjalan mendekati wanita itu dan memeluknya.
"Hei... Ada apa?" Keenan mendekap Alena kedalam pelukannya. "Kenapa kamu menangis?" Salah satu tangannya yang besar mengusap puncak tiap helai rambut panjang Alena.
Suara tangis itu akhirnya mulai terdengar, Alena membalas pelukan Keenan.
"Aku mencintaimu, Bodoh..." Isaknya.
"Aku mohon kembali lah kepadaku..."
*
KAMU SEDANG MEMBACA
QUARREL
RomanceSudah 5 tahun sejak kedatangan Kania di kota ini untuk pertama kalinya, di Berkeley City. Kota dimana dia kembali menata hidupnya, memulai kembali lembaran kehidupan Kania yang sempat porak poranda. Kania, seorang wanita dengan nasib yang kurang ber...