"Gue udah bilang kan, jangan ke sini! Ngapain, sih?" Setelah tiga puluh menit terjebak dalam kebisuan, akhirnya Nata angkat bicara. Mata agak sipitnya menatap tak suka pada rantang yang ditaruh di atas meja di depannya.
Mendengar suara Nata yang dingin, gadis berkulit gelap yang duduk di seberang Nata, semakin menundukkan kepala. "Maaf, Mas... Nuris... Nuris cuma khawatir. Mas Nata udah nggak pernah ke restoran. Pu-pulang juga jarang."
Nata mendengus. Orang tuanya saja tak khawatir, kenapa gadis bernama Nuris ini yang harus mencemaskannya?
Nata mengalihkan pandangannya. Dari kaca persegi di pintu, ia bisa melihat dua jenis rambut berbeda--keriting dan lurus--bergerak-gerak mendesak ke pintu.
Gamea dan Lian benar-benar brengsek! Tadi mereka menyuruh dia dan Nuris untuk berbicara di ruangan ini--salah satu ruangan di studio yang biasa dipakai untuk menerima tamu--agar tak terganggu, tapi sekarang, mereka malah menguping.
Dan itu mengganggu.
Nata mengambil botol air mineral yang masih terisi penuh di meja lalu melemparkannya ke pintu.
Terdengar umpatan kasar dan langkah kaki yang berlari terburu-buru dari luar.Nata mengembalikan atensinya pada Nuris. Gadis itu masih menunduk. "Sekarang, lebih baik lo pulang."
Nuris mendongak cepat, menatap Nata. "Tapi, Mas...," ucapan Nuris terhenti. Sebenarnya ia ragu untuk meneruskan, tapi jika tidak, ia akan tidur dengan perasaan gelisah karena penasaran. Gadis itu meremas rok kuning pudarnya. Menelan ludahnya susah payah sebelum melanjutkan ucapannya. "Gi... Gimana soal jawaban u-untuk perasaan Nuris?"
Nata berdecak. Menggaruk belakang kepalanya, kesal. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-23, tanggal delapan februari, lalu--untuk kesian kalinya--gadis itu menyatakan perasaannya melalui pesan singkat. Dia memang belum memberikan jawaban--tidak berniat malah--, karena dia pikir, Nuris pasti telah tau apa yang akan menjadi jawabannya.
Nata menegakkan duduknya. Pemuda itu menatap tajam tepat ke mata Nuris yang berkaca-kaca. "Jawaban gue tetep sama dan nggak akan pernah berubah. Gue nggak bisa terima lo. Lo hanya temen buat gue, Nuris. Nggak lebih."
Tubuh Nuris menegang. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya. Ia tau. Sangat tau. Pasti pernyataan cintanya kembali ditolak. Tapi kenapa! Kenapa ia begitu penasaran dengan jawaban Nata? Dia hanya berpikir--setiap kali ia menyatakan perasaannya pada Nata--bahwa Nata bisa saja berubah. Mau membuka hati untuknya.
Remasan di rok Nuris semakin menguat seiring Air matanya yang jatuh. Padahal ia sudah sering mengalami rasa sakit yang menusuk seperti ini, tapi sekarang, kenapa rasanya lebih sakit! Bahkan Melebihi rasa sakit saat pertama kali Nata menolaknya. Lima tahun yang lalu.
Nata menghela napas. Tatapannya melembut. Sebenarnya ia tak tega melihat Nuris yang selalu menangis karena dirinya, tapi mau bagaimana lagi, ia benar-benar tak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis di depannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kings
RomanceMemasuki tahun kelima, The Kings mulai goyah. Satu per satu masalah datang menghampiri para personilnya. Karena kepercayaan yang terlalu tinggi, Kafka si pemimpin, harus kembali merasakan sakitnya dikhianati. Karena ketidakadilan yang selalu didapat...