Musik yang berdentum keras, riuh-rendah kehidupan malam di Vy club, sama sekali tak menarik Kafka dari dunia kosongnya. Hampir satu setengah jam vokalis The Kings itu hanya mendudukkan diri di sofa, di sudut club. Berbeda dengan teman satu grupnya, Gamea, yang telah menggila di lantai dansa dan Nata yang entah pergi kemana setelah memainkan beberapa lagu.
Dua hari berlalu, dan ucapan Rachel masih melekat di pikirannya.
"Gimana aku bisa ngelupain pernyataan cinta dari seseorang yang selama ini aku cintai.
"Tapi aku harap, nggak ada yang berubah diantara kita."
"Cih!"
Trak.
Kafka menaruh dengan keras gelas berisi vodka ke-tiganya.
Rahang pemuda itu mengetat. Giginya bergemerutuk. Kilat pilu bercampur kemarahan beriak di kedua bola matanya.
Apa-apaan gadis itu, mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan.
Brengsek!
Brak.
Kafka menendang meja, membuat semua botol minuman terjungkal dan menarik perhatian orang-orang di sekitarnya untuk sepersekian detik. Setelahnya, mereka kembali berpesta.
Tawa lirih Kafka berkumandang. Dan yang lebih mengejutkannya, Rachel berharap tak ada yang berubah diantara mereka.
Itu benar-benar omong kosong!
Buktinya, Kafka sama sekali tak ingin bertemu dengan gadis itu. Bahkan, ia lebih memilih berbeda ruang istirahat saat pemotretan kemarin. Rachel juga tak seceria biasanya saat mereka--terpaksa--harus berada di satu kesempatan.
Itu yang namanya tidak berubah?
Kafka menarik napas.
Sebenarnya... siapa yang salah disini?
Rachel yang mengutarakan isi hatinya.
Atau Kafka yang terpeleset menyatakan perasaannya.
Rachel yang menjadi kekasih Illias, padahal ia memiliki perasaan yang sama dengan Kafka.
Atau Kafka yang dulu terlalu pengecut untuk mengakui perasaannya.
Entahlah. Semakin dipikirkan, semakin kepala Kafka berdenyut.
Kafka mengambil minumannya dan menghabiskan dalam satu teguk. Malam ini, ia benar-benar ingin melupakan masalahnya, meski hanya sekejap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kings
RomanceMemasuki tahun kelima, The Kings mulai goyah. Satu per satu masalah datang menghampiri para personilnya. Karena kepercayaan yang terlalu tinggi, Kafka si pemimpin, harus kembali merasakan sakitnya dikhianati. Karena ketidakadilan yang selalu didapat...