ⅩⅦ:〘Roy Caveras〙

11 1 0
                                        

Aku sungguh ingin bunuh diri. Dia membenciku untuk selamanya. Mendadak, terdengar dering telepon. Aku menatap layar dan kembali tertusuk panah emas. Ia meneleponku??!!!!!! Dengan antusias segera kuangkat panggilan itu.

"Roy?"

"Apa?"

"Kau marah?"

"Tidak."

Terdengar suara dobrakan pintu dan selanjutnya pecut keras.

"SIAPA YANG KAU TELEPON???!!!!!!"

"Teman."

"SEJAK KAPAN IBU MEMPERBOLEHKANMU BERTEMAN DENGAN LELAKI?????!!!!!!!!! MATIKAN PANGGILAN ITU, SEKARANG!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"

Terdengar pecutan selanjutnya yang lebih keras. Aku memutuskan untuk mengakhiri panggilan dan menyusup ke Blaroir. Aku mengambil beberapa senjata, lalu bertransformasi. Aku tahu monster adalah makhluk kepercayaan di Blaroir. Pasti tidak akan terlihat mencurigakan. Jarak Steerotal dan Blaroir sangat jauh, melewati negara terbesar ke-2 di Erboden, Dreme. Dengan kecepatan super maccow, aku berhasil mencapai Blaroir dalam 55 detik. Lebih dari 10.000km, lho. Aku segera melekat pada dinding. Aku selalu hafal kamarnya. Aku berubah menjadi wujud asliku ditambah sihir pin kuningku, sembunyi. Aku memasuki jendela yang terbuka lebar, mendapati ratuku tengah disiksa. Aku ingin dia pergi. Tapi aku bisa apa? Semenit kemudian, ia pergi dengan kunci kamar Grace di tangannya. Aku menampakkan diri. Grace menatap tepat ke manik mataku, membuatku mampu berkaca pada mata besar dan hitamnya yang berlinang air mata. Dengan satu gerakan energi alam, aku menutup jendela dan mematikan lampu.

"Roy?"

"Kenapa kau tak memberitahuku?"

"Soal apa?"

"Soal ini!"

Aku menyambar dagunya. Suasana remang memang bagus untuk menemani amarahku. Ia mulai menangis dalam diam, seakan aku seekor monster yang siap melahapnya hidup-hidup.

"Grace."

Ia menatapku selagi aku mengusap air matanya.

"Aku tak akan melukaimu. Jelaskan padaku."

Kurasakan ia menggeleng pelan. Aku mendekapnya erat, membiarkannya kembali terisak.

"Ibu ingin aku bersama Alva."

"Kau mau sama siapa?"

"Aku tak tahu. Ibu mencuci otakku. Padahal Blaroir dan Glaices begitu jauh."

Aku mengusap rambut hitam malamnya. Mendadak, ia memelukku balik. Aku menatapnya bingung sebelum ia mendongak dengan tatapan penuh harap.

"Bantu aku lepas dari cengkramannya. Aku menginginkan cinta sejati, bukan uang."

Glaices memang memiliki perekonomian cukup bagus kalau tambang minyaknya yang ratusan tidak diledakkan ayah secara diam-diam. Aku hanya tertawa kecil. Namun, selanjutnya sebuah ledakan membahana di pintu. Aku mengambil nailgun di punggungku dan menembaki mereka, lalu mengajak Grace lenyap bersamaku. Para penjaga terlihat bingung. Tentu saja! Kami tak terlihat. Grace menatapku bingung. Dengan santai kutembaki mereka satu persatu. Ini pertarungan seimbang, aku percaya itu. Grace bersembunyi di belakang punggungku seperti anak kecil, membuat panah emas itu menusuk lebih dalam. Dia terlalu manis. Setelah para penjaga lenyap, aku segera membawa Grace pergi. Entah ke mana, aku hanya mengikuti insting jetpackku. Maksudku, kalau mesin punya insting. Setelah sekitar setengah jam, kami mendarat di sebuah tebing. Tebing yang sama. Kenapa, yah? Grace meremas ujung bajuku yang justru membuatku bingung. Air matanya kembali berlinang. Cairan hangat itu mengaliri pipinya, namun segera kutahan dengan jari telunjuk.

Totally ComaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang