Tidak lama kemudian mobil Deno berhenti di depan Alda. Alda masuk ke mobil namun mobil itu tak kunjung pergi. Ben mendengus pelan saat melihat itu. Apakah Alda berniat membuatnya cemburu? Dia lalu masuk kembali ke kamarnya setelah membanting kasar gorden yang ia sibak untuk melihat Alda.
.
.
"Permisi aden" Panggil asisten rumah tangganya di depan kamar Ben."Kenapa bi? " Ben sedang dalam mode patah hati sekarang. " Kalau bibi mau nyuruh Ben makan, bentar aja. Baru juga jam 11 siang" Jawab Ben ketus.
" Bukan itu, den. Itu, teman aden yang cantik itu lho, lagi nungguin di ruang tamu sendirian. Dia titipin pesan buat aden. Katanya, aden punya waktu 5 menit buat siap-siap. Bawa buku pelajaran yang mau dipelajari ke bawah. Lebih dari 5 menit, dia pulang"
Butuh waktu 10 detik untuk Ben mencerna ucapan Bi Imah. Setelah itu dia membelalak tak percaya. Lalu dengan terburu-buru mengambil buku dan berlari menuju ruang tamu tanpa memperdulikan Bi Imah yang mengingatkannya untuk hati-hati.
Di sana. Gadis itu duduk di dekat jendela sambil memainkan ponsel. Gadis manis itu kembali untuknya. Hatinya menghangat. Jantungnya melompat senang. Membuat suasana hatinya di hari minggu ini kembali meningkat.
" Mau sampe kapan lo liatin gue, Ben? " tanya Alda membuyarkan lamunan Ben. Laki-laki itu tersenyum.
" Gue masih gak percaya lo mau ajarin gue. Deno gimana? " Tanya Ben heran. Walau hatinya menjerit tak suka mengucapkan nama itu.
" Dia bisa ngerti. Gue cuma mau ngebayar hutang gue yah, sama lo. Jangan berpikiran negatif. Abis ini gue bakal berusaha supaya gak berhutang lagi" Jawab Alda jutek. Ben tersenyum geli.
" Pikiran negatif itu kayak gimana sih, Al? " Tanya Ben membuat Alda menoleh dengan tatapan jengkel. Laki-laki ini pandai membalikkan perkataannya.
" Mana bukunya? " Tanya Alda. Ben terkekeh pelan menyadari Alda mengalihkan pembicaraan lalu menyerahkan bukunya pada Alda.
Alda menerima dengan dahi berkerut." Lo mau belajar tentang cara meluluhkan hati orang yang disukai, Ben? " Tanya Alda geli. Ben kaget dan langsung merampas buku dari tangan Alda. Mukanya memerah karena malu. Alda sudah terbahak kencang sambil memegangi perut melihat ekspresi Ben. Lucu sekali. Namun tak urung hatinya menghangat mengetahui fakta bahwa laki-laki ini serius mengejarnya. Ah, seandainya Deno itu peka.
Ben segera berlari ke atas, mengambil buku, dan turun lagi. Kali ini benar. Alda masih saja tertawa kecil. Namun Ben senang. Alda tertawa karena dirinya. Oh Tuhan, kalau ini mimpi tolong jangan bangunkan Ben.
🐢🐢🐢🐢🐢
" Thanks, Ben. Udah nganterin gue " Kata Alda sebelum turun dari mobil Ben. Kegiatan belajar mereka selesai lebih lama dari yang dia perkirakan. Sekarang sudah jam 6 sore.
" Gue yang harusnya bilang makasih, Al. Thanks udah ngajarin gue" Jawab Ben tersenyum tulus.
" No prob. Utang gue lunas yah" Kata Alda tersenyum lalu melanjutkan " Mau mampir?"
" Gak, Al. Gue ada keperluan sebentar." Katanya menyesal.
" Okay. Hati-hati, yah "
" Al!" Panggil Ben membuat gadis itu menoleh dan menaikkan satu alisnya tanda bertanya.
" Sekarang kita teman kan? " Tanya Ben hati-hati. Alda tersenyum.
" Yap. Ngak ada alasan gue bilang kita bukan teman, Ben. Jadi, kita teman " Jawab Alda mantap. Ben menatapnya lekat. Membuat Alda salah tingkah.
" Lo masih gak suka hujan ya, Al? " Tanya Ben pelan. Alda mengangguk. Tak ada alasan dia harus menyukai hujan.
" coba sekali-kali lo nikmati hujan. Tanpa rasa apapun. Bukan sebagai pembenci hujan. Nikmati tanpa rasa. Suka, maupun benci. Rasa itu akan datang, Al. Rasa di mana lo bakal menyukai hujan. Saat lo sadar, kalau dengan menikmati hujan, beban lo juga ikut jatuh ke tanah. Jangan pandang hujan sebagai pengganggu, Al. Dia datang buat bawa beban lo pergi. Setidaknya itu menurut gue" Kata-kata Ben menghunus pikiran Alda. Lalu Alda tersenyum. Benar. Dia tidak suka hujan.
" Gue pergi, Al" Kata Ben. Alda mengangguk. Menatap mobil itu sampai menghilang dari pandangan.
Mungkin Ben benar. Dia hanya menatap hujan dari sudut pandangnya.Tapi Ben juga salah. Karena dulu. Dulu sekali, Alda pernah suka hujan. Saat orang itu masih di sini. Saat pecinta hujan itu masih menemaninya kala suka dan duka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionKau tau? Aku suka hujan. Akan selalu begitu. Aku suka momen-momen ketika bau petrichor menelusup masuk ke hidung, menyambangi relung hati, menelisik jiwaku, membisikkan namamu dan membuat lengkungan pada tiap-tiap sudut bibirku ketika kenangan aka...