Part 24

114 9 0
                                    

Aku menyesal pernah meminta takdir mempertemukan kita. Andai saja saat itu takdir tak menyetujuinya, aku yakin kamu tak akan ada di posisi itu.
Aku minta maaf.
~B~

Kamu sama seperti hujan. Petrichor adalah cirimu. Menenangkanku. Namun kamu juga membawa petir bersamamu. Membuatku tersambar berkali-kali.

➖➖➖➖➖

" Dokter, gimana keadaan anak saya? " Tanya Bram cepat saat dokter keluar dari ruangan operasi.

" Kami sudah berusaha sebaik mungkin pak...  " dokter itu menggantung kalimatnya. Amanda dan Bram menahan napas. Menunggu kalimat selanjutnya.

" Kondisi anak bapak dan ibu sungguh lemah. Untunglah dia bisa melewati masa kritisnya. Namun, ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Mari ikut saya " Ajak dokter pelan. Amanda dan Bram saling pandang kemudian berjalan mengekori dokter.

Di sudut tembok, laki-laki itu berdiri mematung. Tak bergeming. Memandang kosong dengan hati bagai diiris sembilu. Bagaimana mungkin papa bilang kalau Alda baik-baik saja?  Alda tidak baik-baik saja.

Air mata Ben turun setetes. Dia sungguh merasa bersalah, sampai ingin mati rasanya. Walau Amanda tidak menyalahkannya, dia tau bahwa wanita itu sakit hati.

Ben menggenggam erat tongkatnya. Dia berjalan pelan mengikuti kedua orang tua Alda. Hendak menguping.

" ... Alda memang telah melewati masa kritisnya. Hanya saja, mungkin itu tidak berlangsung lama. Ginjalnya bermasalah karena benturan yang amat kuat. Dia terancam hidup dengan satu ginjal. Namun melihat kondisinya sekarang, saya tidak bisa menjamin dia mampu. Oleh karena itu, kita harus mencari donor ginjal untuk Alda " Bram dan Amanda menatap kosong. Alda. Sungguh malang nasib anak tunggal mereka. Bram mengangguk pelan.

" Saya akan berusaha semampu saya dokter. Apapun untuk anak saya " Amanda memandang suaminya. Setengah takjub setengah tak percaya. Kalau boleh jujur, dia masih berpikir ini semua hanya mimpi. Kecelakaan Alda dan kedatangan suaminya kembali. Dua hal ini terjadi dalam satu waktu. Bad timing. Sungguh tidak pas.

" Kami juga akan berusaha semampu kami, pak. Mari kita usahakan yang terbaik untuk Alda " Amanda mengangguk.

Di luar ruangan itu, Ben termangu. Alda butuh donor ginjal. Alda butuh donor ginjal. Dan Ben berniat mendonorkan ginjalnya. Tak apa dia hidup dengan satu ginjal. Tak apa bila papa dan mama tidak mau. Dia akan memaksa. Mengancam kalau boleh. Dia ingin bertanggung jawab. Itu saja.

Walau dia tau Alda tak mencintainya, tapi gadis itu harus tau kalau dia mencintainya  dengan tulus. Benar-benar tulus.

' Bahkan kalau lo minta dunia, gue bakal kasih, Al. Rasa cinta gue sebesar itu '

Ben hendak mengetuk pintu untuk masuk saat dokter kembali melanjutkan perkataannya.

" Dan ada satu lagi, bapak dan ibu. Alda masih butuh donor lagi " Amanda menggenggam erat tangan Bram. Tak sanggup lagi berkata-kata. Dia menahan napasnya. Sedangkam Bram berusaha bernapas dengan normal. Menetralisir detak jantungnya menunggu kabar dokter.

" Alda butuh donor mata. Dia mengalami kebutaan secara permanen " Dan kalimat itu bagai petir di siang bolong.
Meluluhlantakkan hati dua orang tua yang begitu mencintai anak mereka. Kabar itu bagai pisau tak kasat mata yang menembusi kulit dan daging. Menimbulkan luka yang sakitnya tak tertahankan.

" Buta, dok? " Tanya Amanda serak. Napasnya tercekat.

" Saya menyesal mengatakam ini, tapi... "

" Saya tanya apa anak saya buta. Iya atau tidak? " Amanda membentak.

" Iya, bu "

" Padahal papanya datang. Dia rindu papanya. Dia ingin ketemu papanya, dokter. Kenapa dia jadi buta? " Amanda menangis. Hatinya pedih. " Papanya di sini dok. Dia gak ketemu Papanya 8 tahun, dan saat papanya datang, dia gak bisa liat papanya. Ini gak adil, dok " Amanda semakin tersedu.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang